“Mulla Shadra seorang
filosof yang sederajat dengan filosof Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina,
Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan
lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat
Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa
seperti Ibnu Arabi. Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan
mewah dan tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan
masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama
Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak
waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala
sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan
kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.Mulla Shadra
berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid)
dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan
dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal,
ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.”
Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan
terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Shadra, pemerintah Iran di
bawah kekuasaan keturunan Shafawiyah yang secara resmi mengakui
kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan
salah satu menterinya adalah ayah Mulla Shadra.
Ayah Mulla Shadra –Khajah Ibrahim Qiwami–
seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang
melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah
menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi
nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Shadra, setelah dia
dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Shadra.
Sadruddin Muhammad (Shadra), merupakan
anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars,
hidup di lingkungan yang religius, terhormat dan mulia. Biasanya untuk
anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar
oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Shadra seorang anak yang
cerdas, semangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia
menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, tata-bahasa Persia,
Arab, seni dan tulisan indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga
diperlajari misalnya, Fiqih, Logika dan Filsafat, tetapi Shadra yang
belum balig waktu itu lebih condong ke Filsafat dan terkhusus dalam
bidang Irfan. Hal ini dapat dilihat dari diarynya yang banyak tertulis
syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan
Attar.
Sebagian dari pelajaran di atas ia
pelajari di kota Syiraz dan sebagian lagi dipelajari sewaktu berumur
enam tahun di Qazwin. Di sana ia belajar dengan banyak guru dalam bidang
yang beragam dan menyelesaikannya dengan cepat mulai dari pelajaran
tingkat pertama, menengah sampai tingkat tinggi.
Mulla Shadra selama Di Qazwin bertemu
dengan guru-guru besar seperti Syaikh Bahauddin Amili dan Mir Damad dan
kemudian menuntut ilmu dari mereka. Dalam waktu yang cepat, dengan
kecerdasan yang dimilikinya, ia dapat menguasai pelajaran dengan
sempurna dan menjadi murid yang paling dihormati dan dicintai oleh kedua
gurunya.
Dengan berpindahnya ibukota Shafawiyyah dari Qazwin ke Ishfahan (tahun 1006 H atau 1598 M)
Syaikh Bahauddin dan Mir Damad beserta muridnya juga hijrah ke kota
tersebut dan meluaskan pengajarannya di sana. Pada masa itu, Mulla
Shadra berusia 27 tahun dan secara resmi telah menamatkan semua
pelajarannya.
Tidak diketahui secara pasti selama
berapa tahun ia menetap di Ishfahan dan setelah itu ia ke kota mana.
Kemungkinan besar setelah tahun 1010 H atau 1602 M ia hijrah dari
Ishfahan ke kotanya Syiraz untuk mengurusi warisan kekayaan ayahnya,
sebagian hartanya diberikan ke fakir miskin dan beberapa bagian
diwakafkan untuk kepentingan umum di Syiraz.
Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi
yang digelar Sadr al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Shadra
adalah salah seorang filosof ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi
secara sempurna filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat
Islam yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah yang terus berpengaruh hingga saat ini.
Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani bertutur ihwal Mulla Shadra: Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.
Mulla Shadra berkeyakinan untuk sampai
kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat
(eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan
cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah
dan kesucian jiwa.
Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat mukasyafah
(penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu maka
secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa
hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan
irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.
Kata Mulla Shadra orang yang tidak ingin menapaki jalan spritual (suluk) dan tidak istiqamah dalam meraih mukasyafah
atas apa yang telah diargumentasikan tidak akan mendapatkan manfaat
dalam menghayati secara serius ayat-ayat Al-Quran dan sebaiknya orang
tersebut tidak mempelajari dan mendalami karya-karyanya. Orang seperti
ini sebaiknya mempelajari ilmu-ilmu lahiriah seperti ilmu Bahasa,
Sejarah, ilmu Ushul, ilmu Fiqih dan ilmu Hadis. Menurutnya sebagian
besar masyarakat haram memperlajari ilmu makrifat ini karena kesulitan
yang sangat dalam meraihnya dan mencapainya dibutuhkan niat suci,
cita-cita yang tinggi, keinginan yang membaja dan taufik dari Tuhan.
Ilmu makrifat dipelajari hanya untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, jika tidak maka dia tidak akan mungkin
sampai pada hakikat ilmu tersebut, bahkan sebaliknya akan menjauhkannya
dari jalan yang lurus dan tujuan suci. Seorang filosof yang bijaksana
tidak boleh mengajarkan dan mewariskan ilmu itu kepada orang seperti
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar