Minggu, 17 April 2016

Brokeback Mountain


Saturday, April 15, 2006

Brokeback Mountain

Saya tertarik menonton film ini karena ceritanya yang tidak biasa. Dari seorang teman, saya mendapat bocoran bahwa film ini bercerita tentang kisah kasih 2 orang cowboy. Wah, sebuah kisah cinta yang unik. Dari gambar yang terpampang di bioskop-bioskop saya sulit membayangkan bagaimana 2 orang laki-laki tampan dan gagah ini bisa menjalin hubungan asmara dan bergumul dalam hubungan seksual. Duuuhhhh!

Rasa penasaran saya akhirnya terbayar dengan harga Rp8000,- sesuai harga VCD bajakan yang saya beli. Apa daya, hasrat ingin menonton di bioskop, tapi rupanya film telah berganti. Film ini adalah karya pemenang oscar Ang Lee yang diangkat dari cerpen karya Annie Proulx. Film ini berlatar belakang di sebuah daerah pegunungan yang luas di Wyoming dan Texas.

Saya lupa bagaimana film ini di mulai, tapi yang justru berkesan adalah setting pemandangan alam berupa gunung, gerombolan domba, dan kuda-kuda tunggang yang tampak sangat harmonis dan memberikan rasa damai. Khayalan saya malah melayang-layang tak karuan membayangkan betapa damai dan tenang kalau saya hidup di situ, disebuah peternakan yang dikelilingi pegunungan hijau dengan hawa yang sejuk. Hhmmmm....

Tentang filmnya sendiri, saya jadi ngantuk nontonnya karena beralur lambat dan tidak ada ekspresi yang tertangkap dari 2 tokoh utamanya, Ennis Del Mar (Heath Ledger) dan Jack Twist (Jake Gylenhaal).

Selain karena alurnya yang lambat dan mungkin juga karena bajakan, -so don’t buy piracy!- maka saya jadi tidak konsentrasi, yang saya ingat kemudian adalah tiba-tiba turun badai salju di Gunung Brokeback dan terjadilah adegan itu. Ya, adegan hubungan intim antara 2 orang cowboy, bahkan tanpa pemanasan terlebih dahulu. Dalam scene sebelumnya, saya tidak bisa menangkap pergulatan emosi atau letupan-letupan asmara diantara mereka. Jadi saya heran kok mereka tiba-tiba melakukannya.


Setelah adegan itu saya jadi lebih konsen nontonnya, lebih karena dorongan rasa penasaran bagaimana emosi dan kisah asmara diantara mereka terjalin. Dalam scene-scene berikutnya memang tampak bagaimana mereka kemudian menjadi akrab secara fisik dan bagaimana mereka berpelukan seolah hati mereka bertaut begitu erat.

Saya baru bisa menghayati ‘denyut asmara’ saat terjadi perpisahan antara Ennis dan Jack. Perpisahan mengharu biru seolah memutus rasa yang mereka miliki selama ini. Dari sini saya paham, betapa cinta sangat universal dan tak seorang pun mampu menolaknya. Setelah perpisahan ini mereka menjalani kehidupan normal dengan istri dan anak mereka masing-masing.

Berbeda dengan pandangan saya di awal film ini, pada scene berikutnya peluk erat dan ciuman penuh kerinduan 2 orang cowboy tampan & gagah tidak tampak aneh saat mereka bertemu kembali setelah 4 tahun berpisah. Justru yang saya rasakan kemudian adalah, betapa sulitnya sebuah cinta yang dilematis. Dilematis karena pada masa itu –film ini bersetting tahun 1963- cinta sejenis masih menjadi barang terlarang yang bisa membuat pelakunya dikenai sanksi sosial dengan cara disiksa atau dibunuh.
Dalam alur ke belakang, film ini menjadi melow dan membuat perasaan saya naik turun. Haru saat mereka bertemu sembunyi-sembunyi dan berdalih macam-macam pada para istri, juga berdesir saat mereka berangkulan penuh kerinduan dan menumpahkan cinta kasih.

Cerita Brokeback Mountain memang tidak biasa. Unik dan menyentuh. Seperti halnya Sam Pek Engtay atau Romeo & Juliet, cinta terlarang memang selalu punya ‘tempat’ tersendiri yang sulit dikekang dan sangat indah saat di visualisasikan.


Di akhir cerita, film ini meninggalkan perasaan sunyi, terhempas dan seolah menarik isi perut. Ah, betapa cinta kadang membuat kita begitu tersiksa.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar