Pertanyaan ‘Apakah
filsafat Jawa itu ada?’ jelas bukan merupakan pertanyaan yang remeh,
yang sederhana, melainkan justru merupakan satu pertanyaan yang boleh
jadi menggugat keyakinan pada banyak orang Jawa yang terlanjur
berkeyakinan dan bangga akan keyakinannya bahwa filsafat Jawa itu ada.
Tegasnya, pertanyaan itu pertanyaan yang eksistensial bagi filsafat Jawa
itu sendiri yang telah terlanjur dinyatakan keberadaannya. Keyakinan
mereka bahwa filsafat Jawa itu ada memang beralasan, seti-daknya
beberapa buku yang mengusung pemikiran-pemikiran Jawa telah diterbitkan
dengan diberi label ‘filsafat’ oleh penulisnya. Tetapi, pertanyaan yang
bernada kesangsian itu tidak cukup dijawab dengan menunjukkan
bukti-bukti keberadaan filsafat Jawa dalam bentuk buku dan berakhir
begitu saja. Bahwa keberadaan buku itu penting memang tak dapat
dipungkiri, tetapi lebih dari itu memang diperlukan penjelasan yang
rinci yang membuat orang mengerti bahwa filsafat Jawa memang layak dan
bahkan perlu ada. Ini yang hendak dijadikan tujuan keseluruhan
penelitian ini.
Untuk itu berikut ini akan dikemukakan beberapa orientasi
komprehensif untuk mengetahui duduk persoalan di balik ketidak-jelasan
arti filsafat itu sendiri.1. Filsafat: Dunia yang selalu Berubah
Ditinjau dari segi sejarah kelahirannya, filsafat Barat yang sangat populer dewasa ini di Indonesia (terbukti dengan semakin banyaknya judul buku-buku filsafat yang diterjemahkan dari para penulis asing ataupun ditulis oleh para penulis Indonesia) merupakan pemberontakan terhadap cara berpikir kuna di Yunani Purba kira-kira 26 abad SM. Cara berpikir kuna yang dimaksud adalah cara berpikir yang menempatkan mythos (Yunani) yang dalam bahasa Inggris disebut dengan myth yang diberi definisi nominal dengan “fable,” “tale,” “legend,” “talk,” “speech,” “conversation,” “rumor,” “anything delivered by word of mouth” (Angeles, 1981: 182). Semua itu dipandang sebagai acuan (sumber) berpikir dan bahkan diterima sebagai ukuran kebenaran menyangkut apa pun pertanyaan orang Yunani Kuna tentang alam semesta dan bahkan keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian, dasar kebenaran akan segala sesuatu bukan terletak pada diri manusia sendiri sebagai makhluk yang berpikir dan dengannya mencari tahu melalui kemampuan-kemampuan manusiawi di dalam dirinya. Cara berpikir demikian dinilai lemah karena mengandalkan keyakinan, tidak bersifat kritis, dan tidak membuka kemungkinan tafsir lain yang sebenar-nya dapat mengantarkan pada level kebenaran yang lebih tinggi dari yang sudah ada dan yang sudah berlaku sekali pun.
Pemberontakan yang dilanjutkan dengan penolakan terhadap penjelasan-penjelasan yang bersifat mitologis diakui menjadi tonggak perubahan berpikir Yunani Kuno yang berdampak amat besar kepada peradaban Barat secara keseluruhan. Dengan tumbangnya dominasi mythos atas kenyataan hidup sehari-hari memunculkan paradigma berpikir baru yang bertumpu pada penga-matan inderawi dan penalaran yang bersifat kefilsafatan yang selanjutnya disebut logos (kata [tuturan, bahasa] maupun juga rasio). Jadi, logos melampaui rasio atau akal budi tetapi tidak terlepas darinya (Bertens, 1992: 16-18).
Yang dimaksudkan dengan penalaran kefilsafatan di atas adalah bahwa terhadap hasil pengamatannya orang-orang Yunani dalam jumlah yang masih amat sedikit itu berusaha untuk menemukan apa yang disebut arkhe/asas/ prinsip dasar/ sesuatu yang hakiki di balik penampakan suatu benda melalui akal budinya sendiri (Bertens, 1992: 26-32). Untuk berpikir demikian sudah barang tentu diperlukan kemampuan melakukan abstraksi pada diri yang bersang-kutan dan dengan itu cenderung akan dihasilkan pemikiran yang spekulatif, tak terbatas, karena memang berusaha melampaui yang fisik atau yang nampak.
Sejarah filsafat Barat juga membuktikan bahwa kelahiran seorang filsuf tidaklah mudah, dalam arti bahwa diperlukan kemampuan kerohanian yang luar biasa (akal budi) dan ketajaman melihat persoalan dan mengajukan perta-nyaan mendasar yang dengannya persoalan makin dikaji lebih mendalam dan menuju arah yang lebih benar. Lebih dari semua itu seorang filsuf dituntut untuk mampu mengemukakan argumentasi yang tidak saja masuk akal tetapi melampaui argumentasi yang telah pernah ada berkaitan dengan sesuatu persoalan yang sama, misalnya. Dengan semua ini hendak digaris bawahi bahwa filsafat tidak dapat dilepaskan dari arti penting rasio tetapi melebihinya.
Perkembangan terakhir dari filsafat Barat menunjukkan kecenderungan yang jauh berbeda daripada tahapan-tahapan yang mendahuluinya. Jika di masa Yunani perhatian lebih tertuju pada persoalan bahan dasar alam semesta (kosmologis, kosmosentris) (Windelband I, 1958: 27-65), maka sejak masa Sokrates, terutama, perhatian besar diberikan kepada manusia (antroposentris, antropologis) (halaman 66-98), menggantikan alam (kosmos). Pergeseran perhatian filsuf lagi-lagi terjadi di abad Pertengahan ketika gereja menunjuk-kan dominasinya atas kehidupan. Pada saat ini, manusia yang semula mendu-duki posisi sentral sebagai pusat dunia, digantikan oleh kemaha-kuasaan Tuhan (teosentris, teologis) atas semua yang ada, termasuk diri manusia (halaman 210-262). Pada masa modern, mulai abad ke-17 yang populer dengan sebu-tan Renaissance (kelahiran kembali), manusia kembali “ditemukan” (Windelband II, 1958: 352-377) hingga akhirnya persoalan bergeser lagi di abad ke-20 ini kepada persoalan yang tak dapat dilepaskan dari seluruh keberadaan manusia, yakni mempersoalkan bahasa (filsafat bahasa, linguistic-analysis).
Jika pada mulanya filsafat terus berkutat pada pertanyaan-pertanyaan metafisis yang berpretensi untuk mengetahui berbagai hal yang melampaui fisik, maka sejalan dengan ini filsafat pun bergeser dari kecenderungan kepada mem-pertanyakan hal-hal yang metafisik menuju satu pendirian yang justru menen-tang kecenderungan lama itu dengan menyatakan bahwa analisis bahasa (linguis-tic-analysis) merupakan metode yang tepat bagi filsafat karena semua perma-salahan filsafat dapat diselesaikan dengan analisis bahasa. (Bagus, 1992: 1994). Pernyataan Ludwig Wittgenstein berikut ini mencerminkan perkembangan baru dalam hal peranan dan fungsi filsafat bagi kehidupan, yaitu: Alle Philosophie ist Sprachkritik (setiap filsafat adalah kritik atas bahasa) (Bertens, 1990: 17).
Hal penting yang selanjutnya patut dikemukakan adalah bahwa dengan perubahan-perubahan tersebut di atas terlihat cara pandang filsafat yang bersifat kritis. Sikap ini bukan saja ditujukan kepada pihak lain di luar dirinya, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Hal lain yang perlu digaris-bawahi pula dari uraian di atas adalah bahwa filsafat Barat menempatkan unsur rasional seba-gai bagian penting dalam kegiatan yang bersifat kefilsafatan. Hal ini penting sebagai dasar untuk memahami argumen tentang mengapa filsafat Jawa cenderung dipertanyakan ketika istilah ‘filsafat’ dilekatkan kepada dirinya. Karena itu, tinjauan ringkas tentang pengertian di balik istilah filsafat penting.
2. Kembali kepada Istilah dan Pengertian Filsafat
Dalam dunia filsafat, kata ‘filsafat’ yang merupakan kata benda itu me-ngandung pengertian teknis atau definisi tertentu, sama halnya dengan sesu-atu istilah dalam suatu bidang ilmu-ilmu lainnya. Untuk memperoleh gam-baran dan perbandingan yang cukup, berikut ini akan akan dilakukan tinjauan atas keberadaan filsafat sebagai ‘kata’ atau pun ‘istilah’ dengan mengguna-kan definisi kamus dan asal-usul kata filsafat di dalam dunia filsafat itu sendiri.
2.1. Definisi Berdasarkan Kamus bahasa
Berikut ini dikemukakan beberapa temuan sehubungan dengan istilah apa yang digunakan di dalam 3 kamus bahasa, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1984: 280, 282), Kamus Indonesia-Inggris: An Indonesia-English Dictionary (Echols dan Shadily, 1990: 162-165) dan Wörter-buch Indonesisch-Deutsch (Krause, 1985: 89-90) sekedar untuk memberikan gambaran sekalipun cukup terbatas.
Tabel 1: Kata-kata yang Sekeluarga dengan ‘filsafat’ dan kelas katanya
Jenis Kata Kamus | Kata Benda | Kata Kerja | Kata Sifat | Kata Ganti (Pofesi) |
K. Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta | falsafat falsafah filsafat | berfalsafat – – | falsafi – filosofis | ahli falsafat – filsuf |
K. Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain | falsafah filsafat filosofi | berfalsafah | filosofis | filosof filsuf |
Indonesia-Inggris Echols-Shadily | filosofi falsafah falsafat filsafah filsafat | – berfalsafah berfalsafat | filosofis falsafi filsafati | filsuf failasuf filusuf |
Inggris-Indonesia Echols-Shadily | filsafat | berfilsafat | kefilsafatan filosofis | filsuf |
Indonesisch-Deutsch Krause | falsafat filosofi | – | – | filsuf |
Jerman- Indonesia Heuken SJ | filsafat | berfilsafat | falsafi | ahli filsafat filsuf ahli pikir |
Tabel 2: Kerancuan Makna Kata ‘filsafat’ pada Kamus Bahasa Indonesia
Varian Kata | Sumber | Sinonim dengan | Catatan (Makna, padanan kata) |
Filsafat | falsafah | Makna rancu karena ‘filsafat’ (bersifat kritis) berbeda secara mendasar dari ‘fal-safah’ (dogmatis-ideologis) | |
Filsafah | Indonesia-Inggris Echols-Shadily | filsafat | Diberi padanan kata dalam bahasa Ing-gris: ‘philosophy,’ ‘ideology’
Kata ‘filsafah’ menambah perbendaha-raan kata bagi filsafat, tetapi berpotensi menambah keruwetan peristilahan. Makna rancu karena menyamakan dua hal yang berbeda; ‘philosophy’ bersifat terbuka, sedangkan ‘ideology’ tertutup |
Falsafat | Poerwadarminta | falsafah | Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dsb dapat segala yang ada dalam alam semesta atau pun mengenai kebenaran dan arti ‘adanya’ sesuatu |
falsafah | Badudu-Zain | Filsafat, filosofi | Makna rancu karena ‘filsafat’ dan filosofi’ berbeda secara mendasar dari ‘falsafah’ Filsafat yang sebenarnya sinonim dengan filosofi ternyata diberi arti berbeda. ‘Filsa-fat’: ‘pengetahuan dan pemikiran tentang kebenaran dan tentang arti keberadaan sesuatu;’ sedangkan ‘filosofi’: pandangan tentang kehidupan (bagaimana kita meli-hat kehidupan ini) |
Filosofi filsafat | Poerwadarminta | falsafat | Penggunaan dan penyepadanan arti ‘filsafat’ dengan ‘filosofi’ masih dapat diterima, tetapi menyamakan keduanya dengan ‘falsafat’ berpotensi menambah kerancuan karena terdapat kecenderu-ngan pada kamus-kamus yang ada seo-lah-olah akhiran /h/ dapat dipertukarkan begitu saja dengan /t/; sehingga ‘falsafat’ dapat dibaca sebagai ‘falsafah’ padahal arti keduanya berbeda. |
Tabel 3: Kerancuan Makna Kata ‘filsuf’ pada Kamus Bahasa Indonesia
Varian Kata | Sumber | Sinonim dengan | Catatan (Makana |
filsuf | Badudu-Zain | filosof | Makna rancu karena keduanya diberi arti yang sama, yaitu ‘ahli pikir, ahli ilmu filsa-fat,’ padahal ‘ahli pikir” (setara dengan fil-suf) berbeda dengan ahli ilmu filsafat (me-reka yang menguasai pemikiran-pemikiran para filsuf) |
Ahli filsafat | Heuken SJ | filsuf ahli pikir | Diberi sepadankan dengan Der Philosoph; Makna rancu karena ahli filsafat disama-kan dengan filsuf (lihat penjelasan di atas) |
Tanpa bermaksud “memiskinkan” kekayaan bahasa Indonesia, kesalah-kaprahan peristilahan di dalam dunia filsafat perlu diluruskan dengan menga-jukan alternatif-alternatif berikut ini untuk mengurangi kekacauan pemahaman yang berpotensi melahirkan kebingungan di dalam diri pembaca kamus dan orang yang sedang mempelajari filsafat itu sendiri, menyangkut persoalan istilah mana yang sebaiknya dipakai, apakah ada perbedaan mendasar satu dengan lainnya.
Tabel 4: Usulan Penyederhanaan Peristilahan Filsafat dan Kelas Katanya
Varian Kata | Kata Benda | Kata Kerja | Kata Sifat | Kata Ganti (Profesi) |
falsafah falsafat filsafat filosofi | filsafat filosofi | filsuf filosof | ||
berfalsafat
berfalsafat berfilsafat |
berfilsafat | |||
falsafi
filosofis filsafati kefilsafatan |
filsafati kefilsafatan filosofis | |||
ahli falsafat
filsuf filosof failasuf filusuf ahli filsafat ahli pikir |
filsuf
filosof ahli pikir ahli filsafat (ha-nya berlaku un-tuk mereka yang menguasai filsa-fat sebagai ilmu) |
Kata ‘filsafat,’ dengan argumen yang sama dengan di atas, lebih baik digunakan daripada ‘filosofi’ atau ‘pemikiran’ karena tidak semua pemikiran adalah filsafat. ‘Falsafah’ tidak dapat disamakan dengan filsafat karena ia mengacu pada pandangan hidup pribadi (orang atau bangsa) yang cenderung tidak dapat diganggu gugat, padahal semangat/ jiwa filsafat justru ‘kritis’ (tidak ‘dogmatis’).
Kata ‘filsafati’ sebenarnya lebih baik digunakan daripada ‘filosofis’ atau ‘bersifat kefilafatan’ tetapi ketiga kata tersebut cukup diminati oleh penulis-penulis bukui filsafat dalam edisi bahasa Indonesia sehingga satu dengan yang lainnya masih mungkin untuk dipertukarkan, sesuai dengan pilihan dan pertimbangan masing-masing penulis. Kata ‘falsafati’ lebih baik tidak diguna-kan dalam arti filsafati karena cenderung berkaitan dengan falsafah dengan pengertian sebagaimana telah dinyatakan, demikian juga dengan ‘falsafi.’
Kata ‘berfilsafat’ dengan sendirinya seharusnya digunakan untuk meng-gantikan ‘berfalsafah’ atau ‘berfalsafat’ dan tidak dapat disama-artikan dengan kegiatan ‘berpikir’ yang umum dilakukan oleh kita semua, kecuali dengan memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dipaparkan di bagian berikut ini.
2. Definisi Kamus Filsafat
Mengingat kata filsafat mengandung pengertian teknis, maka definisi kata tersebut dengan berdasarkan kamus filsafat amatlah penting. Dengan cara ini kita dapat mengetahui adakah per-bedaan yang (cukup) mendasar dalam pemahaman umum berkaitan dengan keberadaan dan penggunaan istilah itu.
Kata (istilah) tersebut dalam Dictionary of Philosophy yang ditulis Peter A. Angeles (1981: 211) berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang jika dilihat secara etimologis istilah tersebut berasal dari dua kata, yaitu “philos” yang berarti juga “love” atau “philia” yang berarti “friendship” (persahabatan), “affection” (kasih-sayang, cinta) “affinity for” (simpati kepada), “attraction toward” (ketertarikan pada) dan “sophos” yang berarti “a sage” (seorang yang arif, cerdas), “a wise one” (seorang yang bijaksana) atau “Sophia” yang ber-arti “wisdom” (kebijaksanaan), “knowledge” (pengetahuan), “skill” (kecakapan, kepandaian), “practical wisdom of experinece” (kebijaksanaan atau pengala-man yang berguna), “intelligence” (intelegensi, kecerdasan). Seringkali pe-ngertian dasar yang dikenakan pada filsafat bersifat reduktif, dalam arti hanya mengatakan sebagian dari keseluruhan, seperti misalnya ‘cinta akan kebijak-sanaan.’ Padahal, sebagaimana kita ketahui, di balik kata ‘kebijaksanaan’, (sophos) itu masih terdapat arti-arti lain yang dilekatkan kepadanya, di anta-ranya: pengetahuan, intelegensi dan pengalaman yang berguna.
Angeles lebih lanjut menyatakan bahwa jumlah arti dari kata tersebut sejumlah filsuf-filsuf itu sendiri, “philosophy has as many meanings as philosophers enganing in it.” Walaupun demikian, dikemukakan juga penger-tian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) the speculative attempt to present a systematic and complete view of all reality (upaya spe-kulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas), (2) the attempt to describe the ultimate and real nature of reality (upaya untuk melukiskan hakikat akhir/ tertinggi dan dasar yang nyata dari realitas), (3) the attempt to determine the limits and scope of our know-ledge: its source, nature, validity, and value (upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumber, hakikat keabsahan dan nilainya), (4) the critical inquiry into the presuppositions and claims made by the various fields of knowledge (penialaian kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan), (5) the dicipline which tries to help you “see” what you say and to say what you “see” (disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.) (1981: 211)
Sejalan dengan Angeles, Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat (1996: 243) menyatakan bahwa di balik arti harfiah filsafat itu, yaitu ‘ cinta akan kebi-jaksanaan,’ terkandung suatu maksud atau pengertian bahwa manusia sesung-guhnya tidak pernah sampai pada pengertian yang bersifat menyeluruh dan sempurna tentang segala sesuatu yang dimaksudkan dengan ‘kebijaksanaan’ tadi. Karena cintanya itu, maka ‘semangat’ yang seharusnya tertanam di dalam diri manusia adalah bahwa ia harus secara terus-menerus mengejar-nya. Jika ditinjau dari sisi lain, yakni dari segi ‘isi pengertian’ (apa yang dilakukannya), maka sebagaimana yang dinyatakan Bagus, filsafat adalah suatu “…pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia.”
Rumusan Bagus tersebut dalam khasanah filsafat Barat ditempatkan sebagai salah satu di antara banyak rumusan tentangnya, sebagaimana akan diperlihatkan melalui beberapa contoh definisi yang sesungguhnya amat ba-nyak di dalam khasanah filsafat Barat sejak dahulu hingga sekarang berikut ini.
C. Beberapa Definisi Filsafat Menurut para Filsuf
Berikut ini dikutipkan beberapa saja dari definisi filsafat yang banyak ditemukan di berbagai buku filsafat. Pada kesempatan ini definisi-definisi yang diperlukan (sekedar sebagai ilustrasi akan adanya pergeseran dan pema-haman yang berbeda-beda) diambil dari buku Filsafat Para Filsuf Berfilsafat yang ditulis oleh Gerard Beekman dan R. A. Rivai (Jakarta: 1984: 14-24):
1. Bertrand Russell: “filsafat adalah tidak lebih dari usaha untuk …. menjawab pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogmatis seperti yang kita lakukan pada kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi secara kritis, dalam arti kata: setelah segala sesuatunya diselidiki problema-problema apa yang dapat ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian dan setelah kita menjadi sadar dari segala kekaburan dan kebingungan, yang menjadi dasar bagi pengertian-pengertian kita sehari-hari…”
2. R. Beerling: “Filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas, diilhami oleh rasio, mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.”
3. Alfred Ayer: “Filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok tetap sama saja. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana kita dapat mengetahuinya; hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan pendapat-pendapat yang telah diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilainya; apakah asumsi-asumsi dari pemikiran itu dan selanjtnya memeriksa apakah hal-hal itu berlaku.”
4. Corn Verhoeven: “Filsafat adalah meradikalkan keheranan ke segala jurusan.”
5. R. Kwant: “Berfilsafat yang sebenarnya adalah menguji secara kritis akan kesemestian sesuatu yang dianggap sudah semestinya.”
Dari definisi-definisi tersebut kita mengetahui bahwa masing-masing filsuf memebrikan definisi yang berbeda-beda dalam rangka untuk menje-laskan filsafat itu apa. Artinya, bahwa tidak ada satu pun definisi yang harus dianggap benar dan paling tepat untuk mehyatakan filsafat itu apa. Tampak-nya status sebagai seorang filsuf memberi keleluasaan baginya untuk menya-takan pendapat tentangnya.
Sekalipun beragamnya pendapat tersebut, keberdaan filsafat barat tidak lepas dari upaya untuk membrikan jawaban aas pertanyaan terakhir yang mendasar, yang didasarkan pada pemikiran rasional yang bebas, dan bertumpu pada semangat kesangsian yang radikal atas segala sesuatu, yang tidak lain dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran yang senantiasa baru.
Sebagai bahan renungan perlu kita simak definisi lain dari Bertnand Russell yang kiranya akan dapat menambah wawasan dan menimbulkan tambahan kepercayaan diri bagi eksistensi Filsafat Jawa di kemudian hari: “Filsafat…adalah sesuatu yang terletak di antara teologi dan ilmu pengeta-huan eksakta. Seperti teologi, maka filsafat ini terdiri dari spekulasi-spekulasi tentang hal-hal, mengenai apa sampai sekarang belum dapat diperoleh pe-ngetahuan yang definitif; akan tetapi dengan ilmu pengetahuan eksakta ia mempunyai persamaan, bahwa ia lebih mengutamakan daya pikir manusia… Antara teologi dan ilmu eksakta terbentang semacam daerah tak bertuan, yang terbuka bagi serangan dari kedua belah pihak; dan daerah tak bertuan ini adalah lapangan dari filsafat….” (Beekman dan R. A. Rivai, 1984: 22)
D. Definisi Filsafat dan Persoalan di Baliknya
Definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas kiranya cukup dapat memberikan gambaran secara ringkas tentang apa dan bagaimana filsafat itu. Sekalipun definisi yang diturunkan dari kamus cenderung bersifat nominal atau sinonim semata, namun demikian kita telah memperoleh gambaran pasti tentang kata manakah yang lazim digunakan oleh para penyusun kamus dan oleh siapa pun yang berkepentingan dengan filsafat.
Jika kita runut kembali, pendefinisian ‘filsafat’ yang diturunkan dari kata-kata yang membentuknya (etimologis), yaitu terdiri dari philos/ philia (cinta) dan sophos/ Sophia (kebijaksanaan) sehingga diartikan sebagai ‘cinta akan kebijaksanaan,’ termasuk ke dalam ‘definisi nominal.’ Ditinjau dari susudt pandang logika, pendefinisian demikian (definisi nominal) belum memenuhi syarat sebagai sebuah definisi yang benar dan ideal (definisi hakiki). Walau-pun demikian, cara ini masih sering digunakan dengan maksud sekedar untuk mengenali arti dasarnya. Alasannya karena definisi ini dapat memberikan ilustrasi sederhana tentang awal kelahiran filsafat dan semangat yang dahulu mendasarinya.
Titik-tolak pendefinisian yang kedua adalah definisi yang didasarkan pada pemahaman dari masing-masing filsuf itu sendiri. Definisi yang demikian cenderung menghasilkan jumlah definisi yang banyak (sekali), bahkan dapat sebanyak jumlah filsuf itu sendiri. Dasar pendefinisian seperti ini memang akan menjadi tak lebih dari ‘pendapat’ yang dalam terminologi Plato bersifat ‘subyektif’ belaka atau hanya berada dalam tataran masing-masing individu (filsuf). Persoalannya memang bukan hanya sebatas itu.
Filsafat itu sendiri memang berakar pada kebebasan, pada rasionalitas sedang kebebasan itu berada di dalam diri masing-masing filsuf, dan hakekat rasionalitas itu adalah beragam (pluriformitas) dan bukan seragam (monolitik). Watak dan semangat filsafat itu sendiri, yang dengannya filsafat lahir, tumbuh dan berkembang ibarat panah yang melesat dari busurnya, semakin cepat dan senantiasa berada dalam gerak yang meninggalkan “induk”-nya (busur itu). Kalau kemudian yang terjadi di dalam dunia Barat, filsafat cenderung penuh diwarnai oleh “pergolakan pemikiran,” penolakan,” “pembaruan,” mau tidak mau, suka tidak suka, maka keadaan ini sebagai konsekuensi logis, sebagai “buah” dari rasionalitas dan kebebasan yang menjadi hakekat dirinya yang berjalin-berkelindaan yang karenanya filsafat menemukan kehidupan “abadi”-nya yang senantiasa dalam ketegangan yang dinamis dan secara kualitas mengalami kemajuan atau pun peningkatan dalam hal kesesuaian pandangan yang dihasilkannya dengan kondisi kekinian.
Filsafat sebagai ilmu yang terus berkembang dan dijiwai oleh semangat kebebasan yang didasarkan pada rasionalitas yang kritis (tidak dogmatis) dan refleksif tidak mungkin menentukan sesuatu definisi ‘filsafat’ sebagai satu-satunya yang paling benar. Sebab jika ini yang terjadi, maka filsafat berarti telah “membiarkan dirinya’ terjebak dalam pantangan yang telah dicanang-kannya sendiri, yaitu telah bersikap dogmatis terhadap dirinya sendiri. Akibat-nya, definisi-definisi dari para filsuf kurang lebih harus dilihat sebagai satu pendapat yang subyektif (didasarkan pada pemahamannya sendiri) dan terse-rah kita apakah hendak menerima definisi yang mana, atau bahkan membuat definisi sendiri, menambah definisi yang sudah ada.
Yang terpenting dalam rangka untuk memperoleh pemahaman konseptual tentang filsafat adalah untuk kembali pada lima pengertian dasar yang disampaikan Angeles di atas dan juga penjelasan ringkas yang disampaikan Bagus. Perdsoalan lain yang tampaknya menimbulkan kesulitan pemahaman adalah kerana filsafat itu sendiri bersifat multidimensional, sementara di sisi lain, sebuah definisi dituntut untuk memberikan batasan pengertian secara tepat, jelas, dan singkat. (Labur, 1983: 21) maka, pertanya-annya adalah “mampukah sedikit kata yang digunakan dalam definisi itu dapat mengabstraksikan dinamika perubahan yang belum jelas akan menjadi seperti apa?” Itu masalahnya.
Akhirnya, definisi, sekalipun banyak kelemahan dan senantiasa tidak dapat tepat menarik batasan tentang filsafat itu apa, sebaiknya diterima dan disikapi sebagai satu upaya untuk mengenali filsafat itu apa pada tahap awal.
E. Argumen Filosofis Bagi Keberadaan Filsafat Jawa
Sejalan dengan pembicaraan tentang pertanyaan ada-tidaknya filsafat jawa di awal tulisan ini, beberapa argumen akan disampaikan berikut ini de-ngan menggunakan berbagai sudut pandang yang dimaksudkan agar dapat menemukan dasar berpijak yang lebih komprehensif dalam hal ini:
1. Sudut Pandang Definisi
Dari berbagai definisi, terutama dari definisi khusus dari kamus filsafat, telah kita ketahui bahwa berdasarkan contoh-contoh definisi para filsuf Barat (Russel, Ayer, dll) terlihat bahwa sejauh ini filsafat didefinisikan secara subyektif oleh masing-masig filsuf; sehingga kesannya adalah bahwa tidak ada tolok ukur tertentu yang harus disepakati bersama secara pasti dalam hal ini, kecuali bahwa filsafat itu berkaitan erta dengan suatu pemikiran rasional (khususnya di Barat) dalam rangka untuk memperoleh pemahaman akan diri, hidup dan kehidupannya dan menarik makna bagi adanya dalam keselu-ruhan. Melalui penggunaan rasio yang dibarengi dengan semangat mengga-pai realitas terdalam, yang paling dasar, kenyataan tertinggi yang seolah-olah tak terbagi lagi itu filsafat “mengabdikan” dirinya bagi manusia.
Terlihat juga di dalam semangat filsafat Barat tersebut bahwa akal budi sebenarnya bersifat ‘instrumental’ sebab yang sesungguhnya menjadi “tujuan akhir” dari kesibukan para filsuf dan siapa pun yang berfilsafat adalah hasil tertinggi yang di satu pihak ingin dicapainya, tetapi di lain pihak tak pernah sepenuhnya ada dalam “genggaman”-nya. Tujuan dari hasil akhir itu adalah “sesuatu” yang dibayangkannya sebagai “hal” yang seolah-olah mendasar, yang fundamental, yang “sepertinya” menjadi inti atau hakekat sesuatu dan sama sekali bukan demi tujuan rasio itu sendiri, an sich (pada dirinya sendiri). Dengan cara ini, maka filsafat bukan hanya milik Barat, tetapi milik manusia di belahan bumi manapun sejauh berkemauan untuk merenungkan makna eksistensi dan tujuan hidupnya, termasuk orang jawa, Sunda, Batak, Minang, Badui, dst., dst.
Bahwa Barat menggunakan potensi manusiawi berupa akal budi untuk mengetahui berbagai hal dengan didukung pengamatan empirik, adalah karena persoalan tradisi Barat saja, dalam arti bahwa Barat memang berakar pada cara berpikir Yunani Kuna. Tetapi, Barat adalah Barat dan Timur adalah Timur, dua kultur yang mempunyai latar-belakang budaya yang berlainan. Oleh karena itu, masing-masing perlu dipahami dengan berdasarkan segala keberadaan dirinya. Keberadaan tidak harus diartikan sebagai keburukan, tetapi begitulah kenyataan dirinya, itulah keunikannya. Di sana akan senan-tiasa dapat ditemukan suatu keotentikan sebagai yang “satu.” Tentang hal ini, Lorens Bagus dalam bukunya, Metafisika (1991: 86), telah menulis: “Salah satu ciri umum dari yang-ada ialah bahwa yang-ada itu benar. Yang-ada memiliki kebenaran sebagai sifat transendental. Tiga serangkai, yakni satu, benar dan baik selalu ditemukan dalam pemahaman mengenai yang-ada.”
Karena itu, Timur tidak harus menjadi Barat, pun sebaliknya. Jika Barat mengandalkan daya rasionalitas, maka Timur punya cara pendekatan yang (sama sekali) berbeda, yakni bukan lagi mengandalkan akal budi, melainkan intuisi, hati, sehingga wajar saja jika bukan pengamatan yang penting baginya, melainkan ketajaman rasa untuk mengetahui dan memahami sega-lanya. Perbedaan ini hanyalah soal pilihan, soal kebiasaan dan lebih dari itu adalah kepercayaan menyangkut dengan apa dan bagaimana manusia sampai pada apa yang dicita-citakannya dalam hidup. Maka, sudah barang tentu masing-masing memiliki pilihannya sendiri-sendiri yang disesuikan dengan pandangan hidupnya, kepentingannya dan keyakinan yang telah terbangun di dalam dirinya selama ini. Karena itu, jelaslah bahwa Barat tidak perlu menjadi seperti Timur, begitu juga Timur tidak perlu menjadi Barat. Yang diperlukan oleh masing-masing adalah bahwa apa yang menjadi tujuan-nya perlu dicapai dengan cara-cara yang dikembangkannya sendiri.
Maka sejalan dengan pembicaraan tentang keberadaan filsafat Jawa, persoalannya bukan terletak pada semangat pembagian dikotomis bahwa pemikiran Barat filosofis (rasional, kritis, reflektif, mendasar, komprehensif) sedangkan Timur (Jawa) irasionalis, tidak kritis, tidak reflektif, tidak mendasar dan tidak komprehensif. Persoalan ini tidak mungkin dapat dimengerti tanpa memahami perlunya prinsip identitas sebagai persoalan metafisis yang mendasari segala yang ada.
2. Prinsip Identitas
Pembicaraan tentang keberadaan filsafat Jawa perlu didekati dari sudut pandang metafisis, khususnya dengan berdasarkan prinsip identitas. Prinsip ini mengatakan bahwa “being is being,” “yang-ada adalah yang-ada” (Gerard Phelan), bahwa “each being is what it is,” “setiap benda adalah apa adanya” (Maritain) atau dapat juga berarti “what exist exists” (Bagus, 1991: 81). Mengingat pemikiran Jawa juga bagian dari realitas,sementara keberadaan realitas berdasarkan pada satu prinsip, yaitu prinsip identitas, yang menjadi prinsip tertinggi dalam rangka dan dalam upaya memahami sesuatu, maka dasar keberadaan filsafat Jawa juga perlu didasarkan pada prinsip identitas ini untuk memperoleh pengesahan dirinya sebagai sesuatu dengan identitas tertentu yang unik, yang berbeda dari lainnya.
Dari kutipan di atas sebenarnya telah jelas bahwa pada dasarnya setiap yang yang-ada (bereksistensi) adalah dirinya sendiri dan dengan demikian dibedakan dari lainnya. Jika ‘yang-ada’ pada dasarnya adalah dirinya sendiri, maka setiap hal sebagai bagian dari yang ada harus dilihat sebagai dirinya sendiri. Sebagai dirinya sendiri jelas mengisyaratkan bahwa Keberadaannya sama sekali tidak ditentukan oleh keberadaan yang lainnya dan tidak harus ‘seperti’ apalagi mengikuti dan mengidentikkan diri dengan ‘ada-yang lain’ itu. Jika pelanggaran terhadap prinsip identitas terjadi, maka ‘yang-ada’ yang seharusnya unik itu dengan sendirinya kehilangan identitas dirinya dan tak dapat dipikirkan sebagai bagian dari yang-ada yang memang seharusnya berbeda dari apa pun lainnya.
Sebagai dirinya, maka ia harus sesuai dengan kodratnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap yang ada memiliki hakikatnya sendiri, hakikat yang tertentu (natura determinata). Karena itu, semestinya dapat dipahami keunikan, keotentikan dari setiap yang ada dan lebih dari itu perlu dihormati keberadaannya karena memang tak mungkin yang ada itu sama dengan yang ada lainnya. Kaslau pun ada kesamaan, maka kesamaan di antara semua yang ada hanya sebatas vertikal, karena segala sesuatu (yang-ada) kembali kepada yang-satu, tetapi masing-masing senantiasa berbeda dari lainnya jika dilihat dalam hubungannya satu dengan lainnya secara horisontal.
3. Sudut Pandang Hakekat Kemanusiaan
Dengan penekanan yang berbeda atas potensi rohani manusiawi yang menjadi andalannya hendak dikatakan di sini bahwa yang menjadi persoalan berkaitan dengan perbedaan Timur dan Barat adalah dalam hal potensi manusiawi mana yang dijadikan andalan dalam rangka menggapai sang ‘Ada’ yang tertinggi itu, apakah dengan mengandalkan akal budi ataukah intuisi. Dengan kata ‘mengandalkan’ hendak dimaksudkan bahwa pertimbangan rasional bukan sama sekali dikesampingkan dalam segala hal (urusan) di Timur (dalam hal ini Jawa). Ia hanya tidak dipentingkan sebagai satu-satu-nya jalan menuju ‘kebenaran yang dicarinya.’ Sebab, jika benar bahwa Timur sama sekali tidak menghargai rasionalitas, maka tentu kenyataan ini akan janggal dan bersifat kontradiktif dengan hakekat kemanusiaan yang inheren di dalam dirinya, disadari atau tidak, sebagai makhluk yang ‘makhluk metafisis,’ makhluk yang tak (pernah) puas untuk berhenti pada hal yang konkret yang aktual, tetapi berusaha mencari sesuatu di balik yang ada, melampaui yang fisik (meta ta physica) dan mencari sesuatu yang tersembunyi. Sebabnya, karena manusia tak puas untuk membiarkan dirinya terbelenggu dalam kenyataan hidupnya yang terkini. Dengan ini jelas terlihat bahwa manusia mau “keluar” dari keterbatasan fisiknya sebagai salah satu bentuk pengung-kapan transendensi manusia.
Dari kecenderungan manusiawi seperti tersebut di atas dapat disim-pulkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sepenuhnya terbelenggu oleh keterbatasan fisiknya. Manusia bukan sepenuhnya kodrati alami, tapi seluruh eksistensinya melebihi kodrat, “homo additus naturae,” yang tak mau terbelenggu oleh dan dalam ketubuhannya atau kejasmaniannya. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang mampu berpikir, bernalar, yang dengannya manusia cepat atau lambat, suka tidak suka, direncana atau tidak, sadar atau tidak pada akhirnya akan “melihat” atau “menemukan” ide mengenai ‘yang-ada,’ ‘sesuatu yang mutlak,’ ‘sang realitas.’ Hal itu disebabkan karena manusia ada-lah makhluk rohani yang ingin melampaui “dirinya” sendiri (Bagus, 1991: 4-5).
Dengan penjelasan filsafati tentang kodrat manusia yang bukan semata-mata jasmani, tetapi juga rohani, dan sebagai makhluk rohani manusia akan senantiasa berpikir, melakukan transendensi atas kenyataan hidupnya, maka amat sulit dibayangkan baha filsafat akan terpisah dari kehidupan manusia. Karena itu pula, sebagai konsekuensi logis, harus dikatakan bahwa manusia Jawa juga berada dalam pencarian filosofis/filsafati akan dirinya, akan sesu-atu yang dianggapnya bermakna bagi dirinya, bagi hidupnya. Persoalannya adalah seperti apakah pemikiran filosofis orang Jawa itu? Ini yang selanjut-nya harus ditunjukkan, harus dirumuskan agar supaya menjadi jelas.
D. Penutup
Berbagai sudut pandang telah dikemukakan di dalam Bab II dalam rangka untuk memperoleh pendasaran filosofis atas keberadaan filsafat Jawa. Dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua sumber pengetahuan yang perlu dievaluasi kembali jika hendak dilihat secara makro.
Pertama adalah bahwa memang terdapat kerancuan dalam hal pilihan kata yang semestinya digunakan untuk menamai suatu pengertian yang bersifat kefilsafatan. Kerancuan agaknya terjadi karena konsep-konsep yang mendasari atau membangun suatu istilah sebagai dirinya sendiri kurang dipahami dengan baik. Akibatnya, terjadi suatu keadaan ‘tumpang-tindih,’ ‘salah-kaprah,’ dan kebingungan sehingga wajar jika kemudian kekacauan pengertian pun tidak terhindarkan.
Kedua, filsafat yang tumbuh di Yunani dan berkembang pesat di Barat hingga kini juga tidak berdiri di atas satu dasar yang konstan dan kaku apalagi ekstrim. Sebagai contoh, tak ada kesepakatan apa pun sehubungan dengan pemahaman tentang filsafat itu apa. Sebagaimana yang terjadi pada para filsuf Barat, sikap yang perlu dikembangkan agaknya kemauan berfilsafat. Hal itu jauh lebih berguna daripada meributkan ‘filsafat itu apa,’ apalagi kita mengetahui bahwa kegiatan berfilsafat itu belum selesai, masih terus dilakukan di belahan bumi mana pun dalam rangka hidupnya. Karena itu, yang jauh lebih penting bukan pertanyaan ‘apakah filsafat Jawa itu ada atau tidak?’ tetapi pertanyaan ‘bagaimana orang Jawa itu berfilsafat di dalam hidupnya? Untuk apa mereka berfilsafat?’ Dst. Dst.
Ketiga, ditinjau dari sudut pandang metafisis, ada-tidaknya filsafat Jawa tidak boleh didasarkan pada satu ukuran (Barat), apalagi ukuran tersebut dike-nakan secara ketat untuk menghakimi sesuatu “produk” budaya yang berasal dari lingkungan budaya yang berbeda (Jawa). Sebab, jika itu dilakukan, maka pluralitas yang-ada akan diingkari dengan sendirinya dan ini jelas merupakan satu pelanggaran terhadap prinsip identitas yang melandasi segala yang-ada.
DAFTAR PUSTAKA
Angeles, Peter A. Dictionary of Philosophy. New York: Barnes & Noble Books, 1981Anh, To Thi. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni. Jakarta: Gramedia, 1985
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996
——————-. “Ludwig Wittgenstein: Masalah Bahasa dan Makna.” Dalam Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Penyunting: FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1992
——————-. Metafisika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
Beekman, Gerard dan A.A. Rivai. Filsafat Para Filsuf Berfilsafat. Jakarta: Erlangga, 1984
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1990.
————–. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Echols, john M. dan Hasan Shadily. Kamus Indonesia-Inggris: An Indonesia-English Dictionary. Jakarta: Gramedia, 1990
———————————————–. Kamus Inggris-Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia, 1989
Heuken SJ, Adolf. Deutsch-Indonesisches Woerterbuch. Kamus Jerman-Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka dan Gramedia, 1987
Jung, Carl Gustav. Menjadi Diri Sendiri: Pendekatan Psikologi Analisis. Jakarta: Gramedia, 1987
Krause, Erich-Dieter. Woerterbuch Indonesisch-Deutsch. Leipzig: VEB Verlag Enzyklopaedie, 1985
Lanur, Alex, OFM. Logika. Yogyakarta: Kanisius, 1983
Leahy, Louis. Manusia, Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal. Jakarta: Gramedia, 1989
Peursen, C.A. van. Orientasi di Alam Filsafat. Jakrta: Gramedia, 1980
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984
Windelband, Wilhelm. A History of Philosophy: Greek, Roman, and Medieval. Vol. I. New York: Harper & Brothers, Publishers, 1958
—————————-. A History of Philosophy: Renaissance, Enlightenment, and Modern. Vol. II. New york: harper & Row, 1958
Tidak ada komentar:
Posting Komentar