Senin, 28 September 2015

Sujiwo Tejo dan Kisah Cinta Rahwana yang Tak Pernah Mati



Adindaku, gairahku.. Belum tahukah engkau bahwa Sinta bukan cuma tentang lelaki. Yang akan merebutnya dariku dengan pedang perisai. Dengan bidang dadanya..." tulis budayawan Sujiwo Tejo dalam buku terbarunya, 'Rahvayana: Aku Lala Padamu'.

Buku ke-11 yang sudah ada di toko buku sejak Juni lalu itu kini menjadi salah satu yang terlaris di Indonesia. Unntuk kesekian kalinya, pria kelahiran Jember ini menceritakan kisah percintaan Rahwana dan Sinta. Mengapa?

"Isi kepala Rahwana itu ada 10, sama seperti saya. Setiap kepalanya isinya cinta," ungkapnya sambil tertawa saat berbincang dengan detikHOT di Rollingstone Cafe, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

Ia menjelaskan, mungkin saja yang menulis buku tersebut bukan dirinya melainkan Rahwana yang tak mati-mati. Jiwanya terus hidup dan menjadi gelembung-gelembung. Siapa pun bisa dihinggapi gelembung itu, tak terkecuali dirinya.

"Karena hidup saya memiliki beberapa sisi. Sama seperti buku ini yang bukan hanya teks tapi ada musik di dalamnya," katanya.

Sebelumnya, Tejo telah menerbitkan buku di antaranya 'Kelakar Madura buat Gus Dur' (Yogyakarta, Lotus, 2001), 'Dalang Edan' (Aksara Karunia, 2002), 'The Sax' (Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2003), 'Jiwo Jancuk' (GagasMedia, Juni 2012), 'Lupa Endonesa' (Bentang, September 2012), 'Republik Jancukers' (Kompas, Desember 2012), dan 'Lupa Endonesa Deui' (Bentang Pustaka, Januari 2014).

'Rahvayana: Aku Lala Padamu' yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka juga akan munc

Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan

 

 

Pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Disini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu seperti dibawah ini.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya ) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut. Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk, dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.
Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi.
Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud : mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “Ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas.)
Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya ( menggeh-menggeh / ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh (sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik. Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan ( yang dimintai ). Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari rahsa.

Tasawuf Dalam Budaya Bangsa : JAMUS KALIMO SODO dan SUKMA SEJATI...

Papat kalima pancer merupakan sebuah wacana yang perlu terus kita gali dan kita renungkan plus bertukar fikiran dengan orang-orang tua kita yang sudah mumpuni baik dari ilmu tahid dan ilmu rasanya. Menurut petunjuknya papat kalima pancer itu pusatnya ada di PANCER (yaitu lubuk hati yang paling dalam) dan PAPAT-nya adalah unsur-unsur ilahi yang kita sendiri hak untuk mendapatkannya. Karena dengan menggunakan PAPAT itu kita bisa selalu ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai penguasa alam semesta ini.

Papat yang pertama adalah nur-nya Allah (Nurullah=Cahaya dari Allah) bias dari asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah, tanda dari PANCER-nya yaitu dalam segala sesuatu/ gerak gerik selalu BERSERAH DIRI kepada Allah dan pengakuan kita sebagai mahluknya merasa tiada daya secara ruhani dan tiada kekuatan secara jasmani kecuali hanya Allah yang memberikan gerah hidup dan kehidupan, dan berupaya untuk selalu meng-ibadahkan segala sesuatu untuk BERIBADAH kepada Allah memohon Ridho Allah, Rahmat Allah.

Papat yang kedua adalah NUR MUHAMMAD (cahaya syafa’at yang Allah cipta untuk Hambanya (Rasulullah) yang Allah mulyakan. setelah kita berserah diri kepada Allah lewat PANCER (lubuk hati yang paling dalam) ada sebuah kelembutan sebagai sebuah rahmat yang Allah berikan kepada mahluknya agar kita tunduk dan lemah lembut kepada Allah, selalu merasa sayang kepada apapun dan siapapun sebagaimana Rasulullah mempunyai perangai yang lembut dan berahlak mulia bagi semua mahluk.

PAPAT yang ketiga yaitu MALAIKAT sebagai kendaraan untuk membawa NURULLAH dan NUR MUHAMMAD tadi kedalam diri kita pada waktu kita berserah diri kepada Allah dan mengibadahkan segala sesuatu hanya untuk Allah dan fungsi malaikat ini untuk membantu memintakan permohonan ampun mendoakan kepada kita sebagai mahluk yang lemah, banyak berbuat dosa (karena manusia tempat salah dan lupa) dan nominal mereka tidak sedikit mendukung kita dalam beribadah kepada Allah.

PAPAT yang ke empat adalah KAROMAH yaitu berisi doa-doa dari para orang sholeh terdahulu (doa dari para Rasul-rasul, Nabi-nabi, dan para Auliya serta Sholihin yang telah mendahului kita) yang oleh allah diberikan kesempatan untuk membantu mendoakan segala hajat hidup kita dalam mengarungi kehidupan didunia sebagai bekal ibadah nanti kita setelah meninggal (akhirat).

Semoga Allah mengampuni kedua orang tua kita, keluarga kita, mengampuni kita, dan orang-orang yang mempunyai hak dan kewajiban atas kita yang seiman serta mengampuni sesepuh-sesepuh kita. Semoga Allah memberikan Taufiq dan hidayah kepada kita dan mereka dan semoga kita dan mereka semua dijadikan golongan dari hamba-hamba Allah yang sholeh.

ADABEBERAPA VERSI yang menginterpretasikan JAMUS KALIMOSODO.

1. ada yang menginterpretasikan 2 kalimah syahada

2. ada yang menginterpretasikan lahirnya pancasila

3. ada yang menginterpretasikan tokoh pewayangan pandawa lima, apakah semua nya salah? tentu tidak…karena cara pandang setiap orang tidaklah sama.

Hal yang terpenting adalah jangan sampai kita kehilangan ISI/makna dari Jamus Kalimosodo sebagai orang yang berpengertian jawa yang mendapatkan warisan dari leluhur Jawa, pengertian jamus kalimusodo secara singkat adalah:

Istilah jamus kalimosodo terdapat dalam kisah pewayangan baratayudha, suatu jamus/surat yang ada tulisannnya tentang pengertian/kawruh. “barang siapa mendapat kawruh ini ia akan menjadi raja/mempunyai kekuasaan yang besa. kitab ini dimiliki oleh prabu yudistira(samiaji) yang selalu menang dalam peperangan dan akhirnya masuk surga tanpa kematian…memiliki dalam hal ini adalah bukan saling berebut tetapi saling berebut memiliki makna.

Arti Kalimasada terdiri dari beberapa bagian:

Ka= huruf/pengejaan Ka, Lima=angka 5, Sada= lidi/tulang rusuk daun kelapa yang diartikan Selalu, Jadi kelima ini haruslah utuh(selalu 5), Kelima unsur kalimasada teridiri dari:

1. KaDonyan(Keduniawian).

ojo ngoyo dateng dunyo yang arti singkatnya adalah jangan mengutamakan hal-hal yang bersifat duniawi, kebutuhan duniawi kita kejar tapi jangan diutamakan.

2. Ka Hewanan ( sifat binatang).

ojo tumindak kaya dene hewan, cotoh:asusila. amoral, tidak beretika dll.

3. KaRobanan.

Ojo ngumbar hawa nafsu yang arti singkatnya jangan memelihra hawa nafsu…nafsu itu harus dikendalikan.

4. Kasetanan.

Ojo tumindak sing duduk samestine yang arti singkatnya jangan bertindak yang tidak semestinya alias gengsi, sombong( ingin seperti Gusti), menyesatkan, berbuat licik dll.

5. KaTuhanan.

artinya kosong

Gusti Allah iku tan keno kinoyo ngopo nanging ono yang artinya Gusti Allah tidak dapat diceritakan secara apapun tapi toh ada. Gantharwa adalah salah satunya yang diberikan “pusaka” mewarisi warisan dari leluhur Jawa. Pengertian Asli dari jamus kalimosodo diatas adalah isi murni dari pengertian sebenarnya..setiap orang boleh membungkusnya dengan bungkus apapun tetapi jangan sampai kehilangan makna aslinya, karena pengertian diatas adalah pengertian sebenarnya dari jamus kalimusodo.[]


SUKMA SEJATI

Sebenarnya Sukma sejati, sukma jati, guru sejati atau guru murshid sama saja…cuma sebutannya saja yang berbeda…..ada juga yang menyebutnya dengan Nur Muhammad yang disebut Ruh idhlafi yang merupakan Hakikat Sukma dan ini merupakan kehendak dari Dzat Yang Maha Suci.

Nur Muhammad adalah hakikat sukma yang diakui keadaan Dzat dan merupakan perbuatan Atma dan menjadi Wahana dalam Alam Arwah ( Martabat 7 ) dan dari Nur Muhammad inilah yang menimbulkan Unsur-unsur Kehidupan yang menjadi Asal muasal Kehidupan.

Sukma sejati adanya pada kedalaman pribadi yang di pegang oleh Sang Pribadi…..melalui proses pengenalan diri sendiri maka muncullah cermin memalukan yang memberikan kenyataan kesadaran bahwa kotornya diri kita dan melalui proses selanjutnya maka kita bisa mulai mencari dan menemukan Sang Sukma sejati atau Adam Makna ……sama saja.

Dan dalam proses menemukan yang di butuhkan adalah totalitas Kesadaran, Keikhlasan, Ketulusan dan Kebulatan Tekad hanya untuk MencintaiNya seutuhnya ……tanpa ketakutan akan neraka atau keinginan akan sorga….yang ada hanya Dia.

Kadang ada yang menyamakan antara sukma sejati dengan saudara 4 …ini sesuatu yang berbeda walaupun asalnya memang dari perbendaharaan saudara 4 tetapi yang sudah di sempurnakan atau di tundukkan oleh Sang Penguasa Sukma.

Kalo pengisian secara instant mengenai sukma sejati, mungkin ini bukan sukma sejati tetapi di sebut punden sari atau saudara 4, dan ini adalah tahap awalnya saja, karena untuk menemukan Penguasa Sukma ( sukma sejati ) melalui proses dan halangan yang cukup sulit, apalagi kalo dalam hidup kita masih sering tergoda kehendak jasad.

Dan sebetulnya bukan diisi, tetapi dibukakan pintunya melalui cakra-cakra yang berada tubuh kita sehingga bisa membangkitkan daya alam bawah sadar kita dan memungkinkan diri kita melakukan sesuatu di luar nalar.

Kadang ada yang menyamakan antara sukma sejati dengan saudara 4 …ini sesuatu yang berbeda walaupun asalnya memang dari perbendaharaan saudara 4 tetapi yang sudah di sempurnakan atau di tundukkan oleh Sang Penguasa Sukma.

Kalo pengisian secara instant mengenai sukma sejati, mungkin ini bukan sukma sejati tetapi di sebut punden sari atau saudara 4, dan ini adalah tahap awalnya saja, karena untuk menemukan Penguasa Sukma ( sukma sejati ) melalui proses dan halangan yang cukup sulit, apalagi kalo dalam hidup kita masih sering tergoda kehendak jasad.

Dan sebetulnya bukan diisi, tetapi dibukakan pintunya melalui cakra-cakra yang berada tubuh kita sehingga bisa membangkitkan daya alam bawah sadar kita dan memungkinkan diri kita melakukan sesuatu di luar nalar.

Kenapa saya sebut sebuah perjalanan.

Karena ini semua harus kita jalani sendiri, dengan mulai dari sebuah keraguan, pencarian, penemuan, pemahaman, kesadaran dan penyatuan…..dalam sebuah cinta kasih yang tulus, dengan pengorbanan yang tak terkira untuk sampai kesana…untuk sampai ke pantai dan melihat samudera…untuk melihat dimana semua sungai bermuara ( kembali ).

Seperti Bima bertemu Dewa Ruci.

Bagaimana pertama kali kita akan dihadang oleh nafsu 4 perkara…..mula-mula sinar lutam, sinar merah, sinar kuning, sinar putih.

Berakhirnya perjalanan ….Pada zaman karamatullah kelak, waktunya maqamijabah, yakni terkabulnya segala sesuatu, segala apa yang dikehendaki terlaksana, karena lenyapnya Mutdah yang merupakan Dzat hamba, tinggallah Wajah yaitu Dzat Tuhan yang bersifat kekal.

Menuju cinta sejati …..adalah sebuah perjalanan yang penuh pengorbanan, saat hidup di kuasai rahsa maka nafsu menguasai jiwa, dan kita tidak akan mendapatkan atau menemukan apa-apa semuanya hanya semua, tidak abadi dan kekal.

Betul sekali bahwa ortu, anak istri…dan semua yang kita dengar, lihat, rasa, endus…semuanya hanyalah pinjaman dan akhirnya toh harus kembali ke asal….itulah yang dinamakan Kesadaran…

Jalan bertemu suksma sejati……adalah dengan menemukan Kesadaran dengan membersihkan jiwa, mengendalikan nafsu 4 menembus 3 cahaya akhir … pertama ; ikhlas, kedua ; rela pada hukum kepastian Allah, ketiga ; agar merasa tidak memiliki apa-apa, keempat ; harap berserah diri pada kehendak Allah Taala …. tidak ada yg menyerupainya ….kecuali anda tahu tempatnya, disinilah kadang di perlukan pembimbing…karena kadang banyak yang serupa atau menyerupai…tapi bukanlah yg sebenarnya.

Dalam Kehidupan ini faktor yang sering dilupakan kita sebagai manusia yang kadang mentang-mentang sebagai khalifah ( pemimpin ) dan merupakan Tajali ( perwujudan ) dari Sang Maha Sempurna, adalah dari mana kita ” berasal ” dan bagaimana kita ” kembali ke asal “.

Sehingga kadang kita melupakan bahwa bahwa kita terdiri dari 2 bagian…..yaitu yg bernama “Jasad” ( raga )dan “Ruh” ( jiwa )……dan dalam menempuh hidup dan kehidupan, biasanya kita lebih banyak termakan dogma dari sebuah kehidupan yang mengandalkan atau menampilkan baju dari masing-masing sehingga hakikat atau makna dari dalam bajunya jarang tersentuh.

Bagaimana Jasad atau raga itu adalah sebagai baju dari Ruh atau jiwa….jiwa menemukan raga begitu di dunia…..dahulu disana tiadalah memerlukan baju atau apapun, raga memerlukan makanan, minuman dan kebutuhan lainnya untuk bertahan di dunia, sedangkan jiwa merindukan tempatnya yang dahulu, dimana tidak memerlukan apapun di alam adam makdum…..
Bagaimana sebuah raga begitu memerlukan perjuangan untuk bertahan hidup di dunia sehingga akhirnya kadang berbenturan dengan keinginan ruh yang tidak merindukan apa-apa, tetapi ruh tanpa raga adalah bukan siapa-siapa karena Keagungan Perwujudan Dzatullah tidak akan terlihat.

Demi menjaga keseimbangan haruslah kita mempertimbangkan tentang keduanya…… bagaimana begitu kita berwujud sudah berbekal 4 nafsu inti, lawwammah, amarah, sufian dan muthmainah, yg apabila bicara seharusnya……harusnya adalah kita harus mematikan dalam wacana mematikan nafsu 4 perkara :Mati nafsunya, setiap nafsu akan merasakan maut. Mati rohnya, maksudnya yang hilang rahsanya. Mati ilmunya, maksudnya yang mati atau yang berjurang imannya. Mati hatinya, maksudnya yang mati ucapannya dengan lisan.

Dan yang melandasi hukumnya adalah ; Jalan untuk kesempurnaan Pati itu adalah Hidayatullah yang menandakan tempat yang telah diatur, serta hakikat hidup yang berada pada manusia. Kedudukan Pati petunjuk Allah taala, selamat dalam keadaan jati maksudnya bijaksana terhadap kesempurnaan sangkan paran. Bertemunya Pati itu tawakal maksudnya berserah diri kepada Allah taala, adapun bertemunya apti itu iradat Allah. Perkara Pati perbuatan Allah maksudnya merapakan kesempurnaan Dza yang bersifat Esa.

Janganlah kita terpaku pada sebuah nama atau sebutan…..karena pasti akan menimbulkan perbedaan bahkan kekacauan dan berujung kehancuran.

Dalam khasanah jawa disebut sukma sejati dan sejatining sukma, dalam khasanah islam disebut ruh idhafi atau nur muhammad atau ruh al quds ( ruh suci ), dalam nasrani di sebut ruh kudus, dalam hindhu atma.

Dalam perjalanannya kenapa disebut guru sejati atau guru mushid…..adalah pada saat kita mencari sesuatu yang murni atau sejati, abadi…..bahwa kita harus menyadari bahwa DzatNya ada pada sifat hidup kita dan yang pantas kita jadikan guru adalah hanya itu…..bukan yang lain yang sama dengan kita yang akan menjadi tanah lagi atau bahkan dari bangsa dilura manusia.

Dalam khasanah yang berbeda keberadaan sukma sejati tidak bisa dilepaskan dari asal mula Tuhan menciptakan Ruh suci ini dalam bentuk makhluk untuk meneruskan penzhahiran yang [paling sempurna dalam peringkat Alam Ketuhanan Dzat Yang Maha Tinggi. Dan Tuhan menhendaki ruh itu turun ke alam fana ini di peringkat paling rendah, yaitu alam Ajsam ( alam kokret )…..yang tujuan utamanya adalah untuk memberi pelajaran kepada Ruh suci itu dan untuk mengetahui pengalamannya dalam mencari jalan kembali kepada Tuhan.

Dan dalam perjalanannya …dari tingkatyang paling tinggi sampai ke tingkat paling rendah , ruh suci menempuh berbagai alam atau peringkat….mulai dari semula turun ke peringkat Akal Semesta atau Kesatuan atau Hakikat Muhammad.

Dan Ruh suci ini dihantarkan ke tempat yang paling rendah agar ia mencari jalan ke asalnya yaitu berpadu atau berdampingan denagn Tuhan seperti ketika ia berada dalam pakaian daging, darah, dan tulang itu. Melalui hati yang ada dalam badan kasar ini, wajar bila ia menanam benih rasa kesatuan dan keesaan, dan ia akan berusaha menyuburkan rasa berpadu dan berdampingan dengan Tuhan yang menciptakannya.

Dalam bumi hati itu ruh suci menanam benih keyakinan yang telah dibekalkan kepadanya oleh Tuhan dari alam Maha Tinggi dan benih itu diharapkan menjadi pokok keyakinan yang akan menghasilkan buah-buahan yang rasanya kelak akan membawa Ruh itu kembali naikke tingkat demi tingkat hingga sampai ke hadirat Tuhan.

Penciptaan badan agar sukma sejati ( ruh ) dapat masuk dan menetap didalamnya, dan setiap ruh mempunyai nama tersendiri, dan Tuhan menyusun ruang-ruang dalam badan dan meletakkan ruh manusia diantara daging dan darah, dan meletakkan ruh suci ditengah hati manusia suatu ruang yang indah dan halus untuk menyimpan rahasia antara Tuhan dan hambaNya.

Ruh-ruh itu berdiam diberbagai bagian anggota badan dengan tugas masing-masing. Keberadaannya seolah-olah berlaku sebagai pembeli dan penjual bermacam barang yang mendatangkan berbagai hasil. Perniagaan semacam inilah yang mendatangkan bentuk rahmat dan berkat dari Tuhan.

Seharusnya manusia mengetahui kebutuhan dalam ruhaninya masing-masing, seharusnya tidak mengubah apa yang sudah ditetapkan atau ditakdirkan Tuhan kepadanya.

Dada adalah tempat bersemayamnya ruh dalam diri setiap insan manusia, tempat yang berhubungan dengan panca indera ini bertugas mengatur segala hal yang berkaitan dengan masalah syariat…..karena dengan ini Tuhan mengatur keharmonisan alam nyata. Ruh tidak pernah mengingkari perintah Tuhan, tidak mengatakan tindakannya itu sebagai tindakannya sendiri, tetapi lebih karena ia tidak mampu bercerai dengan Tuhan.

Tuhan memberikan beberapa kelebihan bagi manusia yang memiliki ruhani yang tinggi pula ; pertama, kemampuan melihat bukti-bukti wujud keberadaan Tuhan didunia yang manifestasikan dalam sifat-sifat Tuhan, kedua…kemampuan melihat hal yang jamak dalam sesuatu yang tunggal dan sebaliknya dimata orang awam, ketiga…kemampuan melihat hakikat dibalik alam nyata dan keempat…perasaan dekat dengan Tuhan….inilah ganjaran karena keikhlasan dan ketulusan mencintaiNya dan berbuat semata-mata karena Dia.

Namun inipun masih berkaitan dengan alam kebendaan, begitu pula hal2 yang dianggap luar biasa oleh sebagian orang seperti berjalan diatas air, terbang diudara, mendengar suara2 gaib, membaca sesuatu yang berada dibenak orang lain, dll…ini masih berpijak pada kebendaan atau alam nyata.

Hendaknya dalam beramal shalih manusia tidak seperti “Pedagang” …yang selalu dalam melakukan sesuatu haruslah ada untungnya, apalagi ini dengan Tuhan.

Ruh dalam Hati

Hati adalah tempat bergeraknya ruh, dan ilmu yang mengulas tentang gerakan hati disebut ilmu thariqah. Kerjanya berkaitan dengan 4 nama Allah. Sebagaimana dengan 12 nama Dzat…4 nama ini tidak berhuruf dan tidak berbunyi, sehingga nama-nama itu tidak dapat diucapkan.

Pada setiap peringkat ( dari 4 tingkatan ) yang dilalui oleh ruh terdapat 3 buah nama yang berbeda. Dan dengan cara ini Tuhan dapat memegang hati kekasihNya yang sedang dalam perjalanan cinta menuju kepadaNya.

Ada 7 titik, yang 3 merupakan titik inti dan yang 4 adalah pendamping dan apabila diolah nantinya akan akan berhubungan dengan 9 lubang di badan kita.

Cara pengolahannya ada beberapa cara ;

1. Dengan berpuasa lahir dan batin, bukan berpuasa hanya puasa lahir tapi batin juga karena lahir hanya menggembleng lahir saja (jasmani ), tetapi batin akan meggembleng lahir dan batin.

2. Meditasi, dengan pengolahan nafas secara benar dan teratur, kontinyu, karena nafas adalah tali jiwa.

3. Dengan adanya pembukaan titik melalui orang lain yang bisa membukanya…..tetapi biasanya ini kurang membuat kita lebih matang dan kurang bisa mengolahnya dengan baik nantinya….karena kendala setelah itu akan banyak.

Dalam islam, kalimat La ilaaha illallaah itu melahirkan 12 nama Allah, setiap nama tercantum pada setiap hurufyang menyusun kalimat tersebut. Dan Allah akan memeberikan nama kepada setiap huruf dalam proses kemajuan hati seseorang itu.

1. Lailaha illallaah : Tiada Ilah kecuali Allah

2. Allah : Nama Dzat

3. Huwa : Dia

4. Al-Haqq : Yang Benar

5. Al-Hayy : Yang Hidup

6. Al- Qayyum : Yang berdiri sendiri kepadaNya segala sesuatu bergantung

7. Al-Qahar : Yang Maha Berkuasa dan Perkasa

8. Al-Wahab : Yang Maha Pemberi

9. Al-Fattah : Yang Maha Pembuka

10. Al-Wahid : Yang Satu

11. Al-Ahad : Yang Maha Esa

12. As-Shamad : Sumber, puncak segala sesuatu

Hati adalah tempat bergeraknya ruh dan ruh selalu memandang ke alam ‘ Malakut’ yang identik dengan kebaikan, dan dialam ini ruh dapat melihat surga alam malakut beserta para penghuninya, cahaya, dan para malaikat yang ada didalamnya.

Dan dialam inilah ruh ruh bergerak dan melakukan percakapan-percakapan tanpa kata dan suara, dan dalam percakapan itu pikiran akan selalu berputarmencari rahasia-rahasia atau makna dalam batin.
Ruha yang bergerak akan melalui berbagai tingkatan dalam perjalanannya. Dan tempat ruh yang telah mencapai tingkatan tinggi adalah di tengah hati, yaitu Hati bagi Hati.

Yang sangat berhubungan dengan Sukma Sejati adalah bagaimana kita mengetahui dan memahami tentang “Rasa Sejati” …..bagaimana pembentukan rasa sejati adalah sebagai berikut:

Eka Kamandhanu, artinya kandungan berumur satu bulan mulai bersatunya kama laki-laki dan perempuan. Dari detik ke detik, kama tersebut menggumpal dan merajut angan-angan untuk mencipta embrio. Kama tersebut menyatu padu dalam kandungan ibu menjadi benih unggul dan keadaan benih belum begitu kelihatan besar dalam perut ibunya. Saat itu biasanya wajah ibu berseri-seri karena itu sering dinamakan Eka Padmasari artinya sari-sari bunga sedang berkumpul dalam kandungan ibu, dalam keadaan penuh kegembiraan. Pada saat ini hubungan seksual masih diperbolehkan, bahkan dimungkinkan hubungan akan semakin hangat karena kedua pasangan tengah akan menikmati anugerah Tuhan yang sebelumnya telah dinanti-nantikan. Detik keberhasilan hubungan seksual ini akan menjadi spirit hidup sebuah pasangan.

Dwi Panunggal, umur kandungan dua bulan. Pada saati ini juga boleh melakukan hubungan seks. Dalam istilah jawa disebut nyepuh ibarat seorang empu sedang membuat keris, semakin banyak nyepuh artinya menambah kekuatan magis keris, keris akan semakin ampuh. Juga hubungan seks pada waktu hamil muda akan semakin hangat dan menarik kedua pasangan, biasanya seorang wanita pada tahap ini ingin jalan-jalan pagi, ingin plesir ke tempat yang sejuk, indah dan mempesona, karena itu disebut pula dwi amratani, artinya rata kemana-mana, bepergian kemana-mana sebagai ungkapan kesenangan dan juga sambil memikirkan nama yang mungkin akan diberikan kepada anaknya kelak.

Tri Lokamaya, artinya umur benih tiga bulan kandungan, dan benih masih berada dalam alam maya. Benih belum ada roh yang ditiupkan, karena itu suasananya gondar-gandir atau gawat. Jika hubungan seks tidak hati-hati kemungkinan besar benih tadi bisa gugur dan terjadi pendarahan. Maka ada baiknya mengurangi kuantitas hubungan seks, dan menghindari percekcokan atau sering marah-marah, karena secara psikologis akan mengakibatkan benih gugur karena merasa panas, ini artinya hubungan yang harmonis dalam keluarga amat menentukan kondisi benih yang dikandungan. Pada saat ini sikap selalu bersolek diri seseorang pasangan sangat menentukan. Karena itu candra benih tiga bulan sering dinamakan trikawula busana, artinya wanita sudah berpikir masalah pakaian seperti daster, pakaian bayi, dll, hal ini memungkinkan wajah wanita akan lebih berseri-seri bagai bulan purnama dan lebih cantik jelita.

Catur Anggajati, benih berumur empat bulan mulai terbentuk organ-organ tubuh secara lengkap. Benih unggul telah berbentuk manusia. Karena itu telah menghisap sari-sari makanan melalui sang ibu, umur seperti ini juga sudah ditiupkan roh sehingga benih telah hidup, sebagai tandanya sering bergerak. Karena itu hubungan seks yang berlebihan kurang baik pada saat ini, bahkan hubungan seks atas bawah akan berbahaya bagi benih dalam kandungan. Saat ini pula benih mulai merekam denyut hidup kedua pasangan. Karenanya kedua pasangan jangan berbuat hal-hal yang tidak baik atau terjadi penyelewengan akan berbahaya bagi benih bayi tersebut. Candra benih berumur empat bulan disebut catur wanara rukem, artinya tingkah laku ibu akan seperti kera yang sedang diatas pohon rukem, dia mulai nyidam buah-buahan yang asam dengan cara lotisan dan akan sangat aneh-aneh sehingga membutuhkan kesabaran bagi pasangan, kadang kurang wajar. Ia mendapat tambahan otak, karena itu sudah punya keinginan.

Panca Yitmayajati, artinya benih berumur lima bulan, dan benar-benar telah hidup, dan hubungan seks harus dilakukan lebih hati-hati, agar memperhatikan posisi sehingga tidak merugikan benih, dan pasangan harus telah tumbuh keberanian untuk menghadapi resiko lahirnya seorang bayi nanti. Karenanya candra benih berumur lima bulan sering dinamakan panca sura panggah, ada keteguhan dan keberanian menghadapi rintangan apapun ketika pasangan hamil lima bulan, tentu saja dari aspek materi jelas memerlukan persiapan berbagai hal. Mendapatkan tambahan otot mulai bergerak erlahan-lahan.

Sad Lokajati, benih berumur enam bulan semakin besar, karena itu kedua pasangan harus lebih berhati-hati. Karena itu candra benih dinamakan sad guna weweka, artinya mulai bersikap hati-hati dalam bertindak dan bertutur kata, jika diantara pasangan ada yang berbuat kasar, mencaci maki apalagi berbuat keji akan mengakibatkan benih yang dikandung tidak baik, bahkan suami dilarang membunuh binatang karena secara insting benih sudah dapat merekam keadaan sekelilingnya. Mendapatkan tambahan tulang karena itu ia bisa naik turun, jungkir balik.

Sapta Kawasajati, umur benih tujuh bulan telah lengkap semua organ dan cipta, rasa, serta karsa, karena itu apabila ada bayi yang lahir pada umur tujuh bulanpun dimungkinkan. Dalam tradisi jawa sering dilakukan ritual mitoni dengan maksud memohon agar bayi yang akan lahir diberi kelancaran, dan pada waktu ini hubungan seks dilarang sama sekali, kalaupun dilakukan harus diperhatikan secara ekstra hati-hati ( posisi diperhatikan ). Karena candra bayi tuuh bulan adalah sapta kulilawarsa artinya seperti burung yang terguyur air hujan, merasa letih. Lelah, dan sedikit pucat, kurang bergairah dan perlu pengertian dari pasangan. Dan ia memperoleh tambahan rupa, dan mendapat tambahan Kodrat dari Allah Ta’ala sperti rambut, darah dan daging.

Astha Sabdajati, benih berumur delapan bulan biasanya siap lahir, siap menuju dunia besar setelah bertapa dalam kandungan. Bayi hampir weruh padange hawa, ingin menghirup udara dunia yang sesungguhnya. Saat ini hanya timbul sikap pasrah untuk menghadapi perang sabil. Candra bayi adalah astha sacara-cara, artinya terjadi sikap berserah diri dengan cara apapun bayi akan lahir ibunya telah siap sedia bahkan siap berkorban jiwa raga. Manakala bayi umur delapan bulan belum mapan posisinya, tentu sang ibu akan gelisah. Untuk itu ada gugon tuhon juga agar ibu dilarang makan buah yang melintang posisinya, seperti kepel, agar posisi bayi tidak melintang yang akan menyulitkan kelahiran. Calon anak sudah dapat mengoperasikan saudara yang empat, sbb;

Pertama : kakawah ( air ketuban )

Kedua : bungkus

Ketiga : ari-ari

Keempat : darah

Kakawah artinya menjadi pengasih, bungkus menjadi kekuatan, darah menjadi waliyas mati, harus diketahui bahwa Kakawah itu adalah malaikat Jibril, bungkus adalah Mikail, ari-ari adalah Malaikat Israfil, dan darah adalah malaikat Izrail.

Jibril pada kulit, Mikail pada tulang, Israfil pada otot, Izrail pada dagingakhirnya selamatlah sentosa, semua itu tidak kelihatan karena Kodrat Allah.

Nawapurnajati, bayi telah mendekati detik-detik lahir, yaitu sembilan bulan, dan tentu yang tepat sembilan bulan sangat jarang. Pada saat itu memang keadaan bayi dan ibunya sangat lelah, karena itu candra suasana disebut nawa gralupa artinya keaaan sangat lemas, tak berdaya, seperti orang lapar dan dahaga. Apalagi setelah sembilan bulan sepuluh hari dengan candra khusus dasa yaksa mati, artinya seperti raksasa mati terbunuh ksatria-seorang ibu setelah melahirkan bayi. Oleh karena itu hubungan seksual sangat dilarang, paling tidak kurang lebih 40 hari seorang suami harus berpuasa.

Sembilan langkah tersebut diatas di harapkan pasangan suami istri dapat menjalankan sesirik ( prihatin ), ibarat sedang bertapa gaib. Segala tingkah laku akan menjadi cerminan hidup anak yang masih dalam kandungan. Itulah sebabnya sikap dan perilaku dijaga baik-baik dengan tujuan manembah dan karyenak tyasing sesama, maksudnya hubungan vertikal selalu harus terus menerus dan hubungan dengan sesama mahkluk agar jangan sampai berbuat diluar kewajaran. Ada empat yang dianugerahkan Allah Ta’ala dengan KodratNya ;

Pertama : Budi

Kedua : Rahsa

Ketiga : Angan-angan

Keempat : Hidup

Menurut Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi



RUWATAN MURWAKALA
Deso mowo coro, negoro mowo toto. Kita hargai dan hormati nilai kearifan masing-masing suku bangsa dan budaya. Karena setiap suku, budaya dan bangsa memiliki nilai kearifan (local wisdom) masing-masing yang berbeda dengan masyarakat dan wilayah lainnya. Sebagai hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan alamnya yang spesifik selama berabad dan ribuan tahun lamanya. Pemaksaan suatu nilai kearifan lokal terhadap masyarakat dan budaya lain, adalah bentuk tindakan aniaya dan merupakan perilaku melawan hukum alam. Sebuah penghianatan akan jati diri, jika penganiayaan dilakukan oleh masyarakat dan suku bangsa itu sendiri. Manusia seringkali kesulitan  melepaskan diri dari nafsu golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Bahkan seringkali nafsu itu diklaim atas nama Tuhan. Sungguh keterlaluan. Siapapun pelakunya cepat atau lambat akan digulung dan diadili oleh hukum alam itu sendiri. Sebab hukum alam tidak pernah menyisakan secuil pun  ketidakadilan.
Ruwatan
Makna Ruwatan
               Ruwatan adalah salah satu upacara tradisional  dengan tujuan utama mendapatkan keselamatan  supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan selanjutnya agar dapat mencapai kehidupan yang ayom ayem tentrem (aman, bahagia, damai di hati).  Lebih konkritnya ruwatan sebagai suatu upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) ang diakibatkan dari perbuatannya sendiri, hasil perbuatan jahat orang lain maupun force-majeur misalnya faktor kelahiran dan ketidaksengajaan di luar kendali dirinya. Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah ruwatan murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala di mana orang-orang yang termasuk kategori sengkolo-sukerto diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara Kala, gambaran raksasa menakutkan yang suka memangsa para sukerto.
Siapakah sesungguhnya Bethara Kala ?
RuwatanSemula saya pribadi pernah tidak percaya samasekali jika Bethara Kala itu ternyata ada secara faktual. Saya sempat mengira ia hanyalah sebatas dalam cerita mitologi (dongeng) pewayangan. Namun semenjak 10 tahun lalu, pada suatu ketika kami mendapatkan anugrah mantra trah secara langsung dari Eyang Gusti Mangkunegoro IV yang lebih pas disebut sebagai mantra pambuka.  Dalam 3 hari kami lakukan suatu ritual khusus untuk menyatukan mantra itu agar manjing ajur ajer dalam roso pangroso dan menembangkannya dengan getaran rahsa sejati agar dapat menemukan frekuensi nada yang selaras dengan harmoni tata keseimbangan kosmos.  Pada hari ketiga, berlangsunglah suatu peristiwa luarbiasa hingga kami dapat menyaksikan langsung ternyata Bethara Kala itu sungguh-sungguh ada. Peristiwa itu sebagai sambutan dari alam semesta setelah mencapai frekuensi yang sinergis ke dalam frekuensi roh jagad agung, atau ke dalam tata keseimbangan kosmos. Manunggal kalayan gustinira berkat laku neng, ning, nung, nang.  Bethara Kala memberikan sambutan welas asih dari kekuatan jagad semesta dengan menoreh rajah kalacakra  (asli) di punggung sebagai tanda mata atau sebagai penanda (bagi siapapun juga) yang mau menyelaraskan diri dengan roh jagad agung, yang tidak lain adalah Sang Jagadnata itu sendiri.
Lantas apa alasan Bethara Kala ada sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan semesta ini ? Sesuai dalam cerita pewayangan, Bethara Kala masuk dalam level kadewatan. Apalagi ia memang anak dari Bethara Guru dengan kata lain ia adalah cucu bangsa kadewatan. Ia hidup di dimensi bumi tidak lain untuk mengkonstribusi dalam tata keseimbangan kosmos. Walaupun Bethara Kala adalah Ratu yang hangratoni jagad lelembut jin setan priprayangan tetapi ia sangat bijaksana. Ia disiplin, patuh dan loyal terhadap wewaler dan paugeran yang termaktub di dalam hukum tata kesimbangan kosmos. Hukum alam khususnya di wilayah Nusantara. Ia tidak akan sembarangan “memangsa” (nasib) bangsa manusia yang bukan termasuk dalam kategori sengkolo-sukerto. Bagi yang belum memahaminya, Bethara Kala seolah makhluk jahat pemangsa (nasib) bangsa manusia. Namun jika kita berfikir lebih kritis dan bijaksana, Bethara Kala sebenarnya hanya menjalankan tugas sesuai dengan hukum alam dengan rumus-rumus yang berlaku di dalamnya. Ia bukanlah pelanggar hukum alam (nerak wewaler) atau pembangkang hukum Tuhan. Sebaliknya ia adalah makhluk yang taat dan patuh menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai salah satu penjaga tata keseimbangan kosmos. Demikian juga kita semua, bangsa manusia dituntut agar patuh dan taat (takwa) terhadap hukum alam (ayat-ayat tersirat/azim). Jadi sesungguhnya bangsa manusia ada dan hidup sebagai bagian dari kehidupan semesta berfungsi dan bertugas untuk menjalankan hukum tata keseimbangan kosmos. Jika kita melanggarnya, maka alam semesta melalui unsur-unsurnya dan kehidupan lainnya akan menghakimi kita. Itu pula disebut sebagai hukum  sebab akibat atau karma.
Tradisi Ruwat
Ritual pangruwatan dalam masyarakat Jawa  yang paling sering dan mudah  dilakukan biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual khusus. Cara di atas bisa dilakukan apabila sengkolo-sukerto yang ada masih termasuk jenis yang ringan dan mudah dibersihkan. Sementara itu untuk sengkolo-sukerto kelas berat pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar pentas wayang kulit yang melakonkan tentang ruwatan itu sendiri. Sang dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon. Misalnya lakon murwakala. Ruwatan dengan pagelaran wayang dilakukan sebagai suatu bentuk mendapatkan dispensasi atau keringanan hukuman. Dalam tradisi hukum positif (formal) sepadan dengan membayar denda kepada negara atau memohon grasi kepada Presiden. Dalam hal ruwatan, Bethara Kala posisinya sebagai Presiden dari bangsa lelembut. Negosiasi tertuju pada Bethara Kala sebagai salah satu eksekutor hukum alam.
Dalam masyarakat Jawa tradisi ritual ruwatan dibedakan dalam tiga macam menurut fungsi dan tujuannya yaitu :
  1. Ritual ruwat untuk orang per orang (person).
  2. Ritual ruwat untuk lingkungan dan bangunan.
  3. Ritual ruwat untuk suatu wilayah yang luas.
Ruwatan Diri Sendiri
Pada saat ini ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Hal ini merupakan suatu kewajaran karena mengikuti hukum dinamika zaman. Ruwatan untuk diri sendiri lazimnya bukan disebut ruwatan, walau memiliki tujuannya sama sebagai upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial).  Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana.
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan berbagai macam selamatan, melakukan laku tarak brata atau tapa brata. Dalam tradisi spiritual masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau cara berprihatin. Laku tapa termasuk lelaku. Lelaku adalah tindakan untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif. Dengan memasukan unsur kekuatan (fisik dan non fisik) yang bersifat positif ke dalam diri, gunanya untuk menciptakan keseimbangan energi dalam tubuh. Orang yang terkena sengkolo dan sukerto, artinya energi dalam dirinya lebih didominasi oleh kekuatan negatif (buruk) yang disebabkan oleh banyak faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya.
Khususnya ruwatan untuk diri sendiri dapat dilaksanakan dengan pakem sederhana maupun dengan pakem standar yakni dengan pagelaran wayang kulit dengan lakon dan uborampe khusus ruwatan. Semua itu merupakan pilihan bagi siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, biasanya ruwat murwakala dilakukan dengan mengadakan pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran wayang kulit dilaksanakan pada siang hari dan dilakukan oleh dalang yang benar-benar mampu (bukan sekedar bisa) meruwat.
Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkungan hidup lazimnya disebut pemagaran yakni teknik memasang pagar gaib pada suatu lokasi atau bangunan. Tujuannya antara lain :
  1. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau mengalihkan energi negatif yang berada dalam rumah atau yang hendak masuk ke dalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam rajah, membaca doa-doa dan mantera. Lebih dari itu bisa dilakukan dengan cara menanam tumbal yang diperlukan, misalnya dlingo-bengle di setiap sudut bangunan dan gerbang. Bisa juga menanamkan kepala kambing, hingga yang paling mahal misalnya menanamkan kepala kerbau. Masing-masing tergantung kebutuhan dan menyesuaikan berat ringannya suatu gangguan.
  2. Menciptakan pagar gaib agar tidak dapat dimasuki orang yang hendak berniat jahat. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung seorang pelaku kejahatan, misalnya pencuri yang masuk ke dalam rumah ia takan menjadi bingung sehingga tidak mampu menemukan pintu keluar rumah yg dicuri. Atau mengurungkan niat si pencuri yang akan memasuki sebuah rumah calon sasarannya, karena dalam pandangan si pencuri rumah itu berubah menjadi hutan, kuburan atau laut.  Pemagaran semacam ini termasuk untuk mengurung makhluk halus pengganggu yang berbeda dalam lingkup pagar gaib. Mahluk halus dimaksud adalah mahluk halus kiriman atau suruhan seseorang yang ingin mencelakai.
  3. Pemagaran dengan tenaga dalam atau energi. Lazimnya dilakukan oleh praktisi tenaga dalam. Pemagaran tenaga dalam ini bisa pula digabung dengan media garam (garam kasar) dan air sebagai unsur alam yang alamiah penetralisir energi negatif.
Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan lingkungannya ini bila berhasil akan menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, tenteram, sejahtera,  jauh dari gangguan bangsa manusia dan makhluk halus suruhan manusia.
Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas
Ruwatan Murwakala ini disebut pula sebagai ruwat bumi.  Pagelaran wayang biasanya dilakukan pada malam hari. Karena pagelaran wayang untuk ruwat bumi merupakan acara yang sangat sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan dilakukan dan dibeayai oleh institusi. Seperti halnya dilakukan oleh Kraton Jogja dan Solo, begitu pula beberapa daerah setingkat Kelurahan hingga Provinsi acapkali mempunyai jadwal rutin untuk melakukan pangruwatan bumi. Ruwat bumi bertujuan memperoleh keselamatan dengan cakupan yang sangat luas. Bukan  hanya bangsa manusia, tetapi mencakup bangsa hewan dari hewan terkecil seperti gurem (kutu ayam), tengu, hingga binatang paling besar seperti gajah. Begitupula ditujukan untuk meruwat bangsa tetumbuhan dan bangsa mahluk halus.  Dilakukan dengan pagelaran pewayangan  yang membawakan lakon Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Ruwat bumi adalah ruwatan paling besar dan berat. Tidak setiap dalang kuat melakukan pangruwatan bumi. Ragam sesaji dan uborampe sangat beragam dan tidak boleh ada yang terlewatkan satu pun. Walaupun sesaji dan uborampenya lengkap, dalangnya pun harus benar-benar dalang pinilih, dalang yang kuat secara batin, dan ilmu spiritualnya mencapai kesadaran kosmologis.  Sebab jika tidak kuat resikonya adalah muntah darah atau bahkan mati karena tidak kuat saat Bethara Kala hadir dan merasuk ke dalam diri ki dalang.  Sepadan dengan banyaknya beaya serta beratnya resiko, hasil dari pangruwatan bumi akan sangat menakjubkan. Kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, adil, makmur dan sejahtera. Buminya yang penuh berkah, gemah ripah loh jinawi ayom ayem tentrem kertaraharja.  Itu karena kehidupan tata kosmos keseimbangan alam berlangsung secara kompak dan harmonis dengan pola hubungan yang penuh welas-asih.
Cukup Doa Pada Tuhan Saja ?
Kata-kata di atas kadang terdengar dari sebagian orang dengan alasan tertentu. Misalnya karena faktor keterbatasan budget. Bisa juga karena faktor pola pikir. Namun itu sekedar pendapat atau asumsi. Tidak bisa dinilai benar-salahnya. Tapi lazimnya yang dilihat adalah efektif-tidaknya soal hasil. Apapun kata orang, toh fakta telah menunjukkan bukti-bukti hasilnya. Rumus-rumus alam yang termaktub di dalam hukum alam mudah sekali kita saksikan. Bahwa beragam usaha mewujudkan suatu tujuan seringkali tidak cukup hanya dengan bermodalkan hasrat dari dalam lubuk hati maupun ucapan yang keluar dari bibir saja. Misalnya kita akan membangun sebuah pagar fisik yang mengelilingi rumah tidak cukup hanya dengan berdoa lantas tiba-tiba muncul pagar yang terbuat dari besi atau tembok. Pasti harus ditempuh dengan tenaga, pikiran, waktu beaya dan menggunakan material yang diperlukan. Demikian pula dalam menciptakan pagar gaib. Seringkali tidak cukup hanya dengan berdoa saja. Tetapi harus ditempuh pula dengan menggunakan tenaga, pikiran, waktu, beaya. Perbedaan signifikan terletak pada materi untuk membuat pagar.  Prinsip membuat pagar gaib berlaku pula ketika seperti pada saat orang membuat pagar rumah yang memerlukan tenaga pikiran waktu dan beaya.
Kita tidak perlu membiasakan pola pikir bahwa segala sesuatu yang gaib cukup diupayakan dengan modal mulut komat-kamit sembari “menyuruh” Tuhan yang mengerjakan semua itu. Sementara pekerjaan itu masih dalam lingkup tugas dan kemampuan manusia. Pola pikir demikian begitu manja tak perlu dipelihara. Itu sama halnya kita ingin selalu cari enaknya sendiri. Membuat pagar tembok hanya bermodalkan ucapan doa dan menyerahkan pekerjaan tukang batu kepada Tuhan.  Keselamatan tidak selalu cukup hanya dengan doa, tetapi perlu ada upaya nyata misalnya mengungsi dari bahaya letusan gunung atau banjir. Berlindung di dalam rumah dari hawa dingin atau panasnya matahari. Berlindung di dalam goa dari gempuran badai dan angin besar. Naik ke atas bukit untuk menghidar dari bahaya banjir dan tsunami. Tidak melewati jalanan sepi dan rawan untuk menghindari aksi perampokan. Mengenakan jaket anti peluru untuk menahan senapan.  Menabur beras dan garam agar rumah kita tidak roboh diterjang hujan dan angin besar. Mengoles parutan dlingo-bengle ke punggung dan telapak kaki bayi agar dijauhi segala makhluk halus yang energinya bisa membuat bayi rewel tidak nyaman setiap menjelang malam. Semua itu ilmiah dan sangat rasional asal kita mau berfikir dengan akal sehat. Asal kita mau menuhankan akal ketimbang menuhankan emosi. Asal kita mau membuka pola pikir untuk merangkak pada kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Jika tidak mau repot ruwatan, mudah kok. Kecuali faktor forcemajeur, untuk  mengantisipasi sukerto-sengkolo bisa dengan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya kepada banyak orang. Asal dilakukan dengan tulus dan tidak pilih kasih  hanya mau baik kepada yang sealiran, sesuku, sebudaya, seagama, segolongan saja.  Buatlah hidup  agar lebih banyak bermanfaat untuk kehidupan lainnya. Gunakan waktu hidup kita  untuk memberikan kehidupan pada seluruh mahluk. Itu akan menciptakan pagar gaib buat diri Anda sendiri. Pagar gaib yang berasal dari sistem keseimbangan energi, bahkan dalam diri Anda akan lebih dominan energi positifnya, semakin tebal pula “tembok” gaib Anda sendiri. Kebaikan yang kita lakukan pada orang lain, akan kembali untuk diri kita sendiri.
Ruwatan Dalam Perspektif Budaya
RuwatanKegiatan gelar budaya ruwatan tidak sekedar latah, namun di dalamnya terkandung nilai sosial, edukatif, rasa kebersamaan dalam banyak ragam perbedaan. Dan pemberdayaan terhadap nilai-nilai potensi sumberdaya, kreatifitas manusia serta ikut melestarikan budaya bangsa khususnya budaya Ruwatan. Ruwatan mengandung makna mengevaluasi diri atas segala kesalahan yang disadari maupun tidak disadari di masa yang telah lalu. Sehingga dalam acara ruwatan memiliki makna untuk membersihkan diri, tidak hanya sekedar pembersihan lahir, lebih utama adalah membersihkan batin, membersihkan sengkala (penghalang diri) dan sukerta (kotoran dalam diri). Yang berakibat sering mengalami sebel-sial karena sengkolo dan sukerto. Maksud diadakannya ruwatan massal ini untuk meringankan beban peserta sukerto yang mampu maupun tidak mampu,  yang tidak dapat melaksanakan sendiri. Artinya, ruwatan massal dilakukan untuk meringankan beban masyarakat Kabupaten Lumajang. Tujuan pokok ruwatan, adalah untuk membuang kesialan hidup orang-orang yang sedang dalam sukerta (susah). Orang-orang sukerta ini, menurut cerita  adalah orang-orang yang akan dimangsa oleh Bathara Kala sebagai kekuatan penyeimbang hukum alam, karena orang-orang sukerta tidak selaras atau harmonis dengan hukum alam yang sangat adil (prinsip Tuhan yang Mahaadil). Dengan kata lain, para sukerta mengalami suatu peristiwa tidak sengaja, dan perbuatan yang disengaja yang tidak sesuai dengan kodrat alam yang semestinya.  Prosesi spiritual ruwatan, juga sebagai upaya melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang masyarakat Jawa yang sudah turun temurun ribuan tahun silam. Sebagai khasanah pelestarian kekayaan ragam budaya di tanah air. Ruwatan masih merupakan bagian dari prosesi adat Jawa. Ruwatan itu adalah prosesi penyucian diri seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka. Tapi hanya orang-orang tertentu yang menyandang predikat Sukerta saja yang diwajibkan untuk diruwat. Asal-muasul prosesi ruwatan diceritakan dalam kisah pewayangan lakon Murwakala, yaitu lahirnya Bathara Kala.
Kategori Sukerto
Kategori sukerto adalah orang-orang yang termasuk dalam daftar perlu diruwat.  Mengenai berapa macam sukerto, ada beberapa versi. Menurut Pakem Pangruwatan Murwakala ada 60 macam sukerto, Pustaka Raja Purwa ada 136 sukerto, Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto, sedangkan menurut Buku Murwokolo  ada 147 macam sukerto.
Pada garis besarnya ada 3 (tiga) macam kelompok sukerto, yaitu :
 3. Faktor Kelahiran
Sukerto karena kelahiran seperti anak tunggal, kembar; berdasarkan waktu kelahiran, misalnya anak yang dilahirkan tengah hari atau saat matahari terbenam dll.Sukerto kelompok ini adalah anak-anak yang sangat dicintai oleh orang tua mereka, keselamatan dan kebahagiaan mereka selalu dipikirkan oleh orang tua mereka.Terlebih para orang tua tersebut mengetahui bahwa anak-anak tersebut termasuk dalam daftar sukerto.
Menurut Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi
Dalam kepustakaan Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi yang berdasarkan beberapa referensi di antaranya dari Serat Centhini (Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana V) orang-orang yang harus diruwat disebut anak atau orang sukerta. Sukerta terdiri 60 kriteria penyebab malapetaka, akan tetapi di sini saya kemukakan 33 kriteria yang paling urgen untuk diruwat. Ke 33 kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Ontang-Anting;  anak tunggal laki-laki atau perempuan.
  2. Uger-Uger Lawang; dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki.
  3. Sendhang Kapit Pancuran;  3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 (tengah) perempuan.
  4. Pancuran Kapit Sendhang; 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 (tengah) laki-laki.
  5. Anak Bungkus; anak yang pada saat kelahirannya masih terbungkus oleh selaput plasenta.
  6. Anak Kembar; dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar dampit yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan).
  7. Kembang Sepasang; dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
  8. Kendhana-Kendhini; dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
  9. Saramba; terdiri 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
  10. Srimpi; terdiri 4 orang anak yang semuanya perempuan.
  11. Mancalaputra atau Pandawa; terdiri 5 orang anak yang semuanya laki-laki.
  12. Mancalaputri; terdiri 5 orang anak yang semuanya perempuan.
  13. Pipilan; 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
  14. Padangan; 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan.
  15. Julung Pujud/caplok ; anak yang lahir saat matahari terbenam.
  16. Julung Wangi/kembang ; anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari.
  17. Julung Sungsang ; anak yang lahir tepat jam 12 siang.
  18. Tiba Ungker ; anak yang lahir, kemudian meninggal.
  19. Jempina; anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
  20. Tiba Sampir/kalung usus; anak yang lahir berkalung usus.
  21. Margana; anak yang lahir dalam perjalanan.
  22. Wahana; anak yang lahir di halaman atau pekarangan rumah.
  23. Siwah atau Salewah; anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna, misalnya hitam dan putih.
  24. Bule; anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih (bule).
  25. Kresna; anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam (cemani).
  26. Walika; anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil.
  27. Wungkuk; anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok.
  28. Dengkak; yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol seperti punggung onta.
  29. Wujil; anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek.
  30. Lawang Menga; anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya Candikala yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan.
  31. Made; anak yang dilahirkan oleh ibunya tanpa alas (tikar).
  32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan Dandhang (tempat menanak nasi).
  33. Memecahkan Pipisan dan mematahkan Gandik (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
  34. Anak-anak yang hari weton lahirnya sama dengan saudara sekandungnya.
  35. Anak yang hari wetonnya sama dengan orangtuanya.
  36. Orang yang suka mengaku/menyerobot hak orang lain. Sering mencelakai, menyakiti hati orang lain.

Catatan ;
Komposisi anak yang termasuk dalam kriteria di atas, dengan catatan bukan karena ada yang meninggal. Misalnya jumlah anak ada 6 semuanya laki-laki, tetapi meninggal satu menjadi 5 laki-laki semua. Komposisi ini tidak termasuk pendawa lima, atau mencala putra, tidak perlu diruwat.
 1. Sukerto karena berbuat kesalahan
Meski tidak sengaja seperti : memecahkan gandhik, alat pembuat jamu; menjatuhkan dandang (tempat untuk menanak nasi) waktu sedang masak nasi. Namun ada yang lebih urgent, yakni orang-orang yang terkena sebel-sial akibat sukerto-sengkolo karena ia sering menyakiti hati atau mencelakai orang lain. Walaupun dilakukannya tanpa sadar dan tanpa kesengajaan.  Orang yang bersiul saat tengah hari, itu tidak patut/ora ilok.
2. Sukerto Sebel-Sial
Seseorang yang dalam hidupnya merasa sering mengalami banyak musibah, kesialan,  penyakit, dan sering diancam mara bahaya. Ada orang yang dalam menjalani hidup ini selalu tertimpa sial misalnya sering terkena musibah, bencana dan sering sekali terancam bahaya. Dalam melakukan pekerjaan  banyak salah, sering merasa apes, dalam usaha mengalami kegagalan. Terlibat banyak urusan yang tidak enak, sering mengalami kesulitan yang tidak ada jalan keluar, terkena bermacam-macam penyakit, hidupnya terasa tidak menyenangkan. Ada yang bilang bahwa waktu dan kondisi selalu tidak berpihak kepadanya. Ada sesuatu yang salah, sehingga orang tersebut perlu diruwat.
Dalam pemahaman kuno, orang-orang yang termasuk tiga kelompok sukerto itu perlu diruwat secara tradisional. Mereka diruwat supaya tidak menjadi mangsa Bethara  Kala, terbebas dari gangguan dan bencana yang merupakan ancaman Kala.
Kala artinya waktu. Yakni waktu yang menjadi ancaman dan menimbulkan resiko musibah dan bencana adalah waktu yang tidak baik, tidak tepat (tali wangke dan sampar wangke). Secara umum setiap orang tentu mengharapkan perjalanan waktu  selalu berpihak kepadanya. Sehingga hidup kita selalu berada dalam naungan keselamatan, sehat jasmani dan ruhani, berkecukupan dalam bidang materi, tentram hatinya, berkembang dan maju karier, pekerjaan dan usahanya, sukses selalu dalam genggaman, dan berkah agung selalu terlimpah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Gusti Sang Jagadnata.

BENARKAH LOGO YAHUDI ADA DI KERATON JOGJA



Kondisi Tugu Yogya ini berubah total pada 10 Juni 1867, di mana saat itu terjadi bencana alam gempa
bumi besar yang mengguncang Yogyakarta, yang membuat bangunan tugu runtuh. Runtuhnya tugu karena gempa inilah yang membuat keadaan dalam kondisi transisi karena makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan
tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi
itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing.
Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan Tugu saat itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, namun melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung
sesudahnya, akhirnya upaya tersebut tidak berhasil.
Menilik asal usul Tugu Yogyakarta tentu tidak bisa lepas dari keikutsertaan pihak Belanda dalam zaman penjajahan. Karena campur tangan Belanda itulah Tugu Yogyakarta mempunyai aroma zionis.
Ada dua buah simbol Zionis Israel yang melekat pada Tugu Yogyakarta diantaranya adalah simbol Bintang David di badan Tugu dan Tanduk Unicorn di ujung tugu.
ADVERTISEMENT
image
lihat gambar bintang yang berwarna emas
image
puncaknya lancip melambangkan tanduk unicorn
Jadi kalau diambil kesimpulan bahwa Sebelum Tugu Yogyakarta berdiri dengan bentuk yang ada seperti sekarang, ternyata dahulu Tugu
Yogyakarta tidak berbentuk seperti sedemikian rupa seperti saat ini. Tugu Yogyakarta saat pertama kali
dibangun itu berbentuk golong gilig. Yaitu tugu yang berbentuk silinder yang mengecil keatas dan diatasnya ada sebuah bulatan seperti bola. Tugu
tersebut berdiri sekitar 25 meter dibangun pada tahun 1755. Akan tetapi terjadi gempa maha dahsyat yang mengguncang kota Yogya pada tanggal 10 Juni 1867 yang menghancurkan Tugu Golong Gilig. Dan pada tahun 1889 pihak belanda membuat rancangan Tugu Yogya yang baru untuk menggantikan tugu yang telah hancur. Rancangan tersebut diamini oleh Sri Sultan kala itu.
Dibangunlah Tugu Yogyakarta yang seperti sekarang.
Tugu yang lalu yaitu Golong Gilig menggambarkan simbol Tauhid atau keyakinan Agama Islam. Tapi Tugu yang sekarang mempunyai simbol Zionis Bintang David dan tanduk Unicorn. Bintang David adalah lambang di bendera negara Israel yang mewakili orang-orang Yahudi, sedangkan Tanduk Unicorn adalah tanduk Kuda, yang mana kuda ini bukanlah kuda biasa. ..menurut legenda dinegara barat’ Unicorn adalah kuda putih yang mempunyai tanduk berbentuk spiral yang meruncing di bagian ujungnya. Darah Unicorn merupakan obat yang
mujarab dan mampu membuat hidup abadi. Kini Tanduk Unicorn ada pada bagian atas tugu Yogyakarta.
Kenapa lambang Zionis bisa sampai ke Tugu Yogyakarta?
* Dalam sebuah kajian di kota Yogya, pada zaman pertengahan orang-orang Yahudi yang berada di Eropa mendirikan organisasi besar di
Eropa, tepatnya di Belanda. Padahal Belanda sedang menjajah Indonesia, pada masa itulah aliran Zionisme masuk hingga terukir di tugu Yogyakarta.
Masih belum yakin..coba lihat asal-usul bintang david ini..
image
dan inilah bendera israel
image
Bagaimana massbro…
Terlepas Tugu Yogyakarta merupakan Landmark Kota Yogyakarta dan juga peninggalan sejarah, jika anda ingin membuktikan silakan datang ke tugu
Yogyakarta.
image
tugu yogya siang hari
image

akan terlihat menyala di malam hari
..dimana letaknya..???
Tugu yogya ini tepat lurus dengan jalan malioboro…kalau massbro dari arah solo…lurus aja melewati jalan solo dan akan menemukan tugu diperempatan mangkubumen..nah tugunya ada disini…belok kiri ke malioboro…lurus ke arah godean…kanan ke monumen jogja kembali…
Oya…massbro juga bisa membaca artikel saya yang berhubungan dengan ini disini :
http://masshar2000.wordpress.com/2013/05/08/logo-monster-energy-benarkah-ada-unsur-fremason-yahudiisme/

I'm Proud To Be Dayak BORNEO"!



“Tahu tak, Iban di Kalimantan, Indonesia sama dengan Iban di Sarawak, kaum Bidayuh di Sarawak sama dengan Bidayuh di Kalimantan, manakala orang Ulu di Sarawak sama dengan orang Ulu Kalimantan.
Kami bersaudara, kami berkongsi sempadan, kami berkongsi bahasa, kami berkongsi budaya dan kesenian. Jadi sentimen negatif tidak wujud dalam masyarakat Dayak Sarawak dan Dayak Indonesia. Kami hidup aman dan damai. Provokasi diwujudkan oleh manusia rakus dari pulau lain selain Borneo. Kekayaan dan nikmat keamanan amat dihargai, malah kami tahu kami serumpun. Kami tak perlukan unsur-unsur negatif di sini,”
“Di Indonesia dan Malaysia masing-masing ada kaum Dayak. Saya salah seorang dari kaum Dayak mengaku ada persamaan tarian disebabkan kami berasal dari rumpun yang sama iaitu kepulauan Borneo. Jadi apa yang nak dipertikaikan. I'm proud to be Dayak BORNEO"!

Minggu, 27 September 2015

Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu

Guru Made Sumantra
Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Nusantara. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah Jnana Yoga tingkat Tinggi

Guru Made Sumantra
HANACARAKA
Keempat jurus Hanacaraka sebenarnya menyiratkan 4 tingkat alam kehidupan alam semesta yang tidak terbatas hanya kepada insan manusia diatas bumi ini.


Secara ringkas / garis besarnya:

1. Hanacaraka – menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat yang tertinggi (mendasar). “ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsa sebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi. Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka) yang Maha Kuasa.
2. Datasawala – menyiratkan alam kehidupan pada tingkat Monad, Logos. (Atma?) yang berada diluar dimensi ruang dan waktu. Ke-Maha-Kuasa-an yang didasari oleh Cipta, Rasa dan Karsa yang ada pada setiap Logos / Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ / ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”. Aku
3. Padhajayanya – menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi’ dari ‘kehendak’ / ‘niat’ dari jajaran Ingsun/ Aku (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam semesta beserta seluruh penghuninya. Disini terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya ‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun/Aku / dan Ingsun/ AKU (kawula lan Gusti)
4. Magabathanga – menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati) dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Prana Suci) melaksanakan ‘misi’nya (karsa) yang timbul dari ‘niat’ untuk ‘meracut’ busana manusia dialam fisik (alam kematian / tidak kekal). Alam jiwa dan raga.
Dengan meng-kaji keempat jurus diatas secara bolak balik dan berulang ulang, saya ‘mendapatkan’ pengertian tentang apa ‘misi’ kita sebenarnya dengan ‘turun’-nya kita ke dunia ini. Pengertian ini belum pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, dan juga belum pernah saya dapatkan dari ‘ajaran ajaran’ lain yang pernah saya ketahui.

(Lihat MISI – Karsa manusia didunia ini.)
1. HANACARAKA – Dasar kesunyataan Ha-na-ca-ra-ka: Hana (ada) Ca, Ra, Ka (Cipta, Rasa, Karsa).
Ha – Huripku Cahyaning Hyang Widhi.
Hidup(ku) adalah cahaya Tuhan dimana Tuhan adalah sumber dari cahaya / kehidupan alam semesta. Lain dari definisi ‘hidup’ yang kita kenal selama ini, seluruh alam semesta sebenarnya penuh dengan kehidupan, mulai dari particle atom yang terkecil sampai kepada seluruh planet, bintang dan Galaxi beserta seluruh penghuninya, baik yang berada dalam dimensi kita, maupun dimensi dimensi lainnya yang tidak kita kenal/ketahui.
Na – Nur hurip cahya wewayangan.
Nur hidup adalah cahaya yang membayang.
Terpengaruh oleh perlambang dalam permainan wayang, semula saya berkesan bahwa Hyang Widhi adalah sumber cahaya kehidupan, Nur adalah cahaya yang membayang dan Caraka adalah wayangnya. Dalam konteks tersebut kita akan segera menganggap Caraka (utusan) sebagai Ingsun /aku serta bayangan dilayar adalah ingsun/AKU (bayangan dari Ingsun).

Namun setelah saya renungkan kembali, ternyata jurus Hanacaraka ini menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta yang berada dua tingkat diatas alam Ingsun/aku. IngsunAku baru muncul pada alam ketiga – Padhajayanya. (Maaf kalau pengertian saya tentang kata “Ingsun”/Aku mungkin kurang tepat.)
Baik dalam pengertian pertama maupun kedua, sebenarnya bisa kita simak rahasia penciptaan alam semesta yang mempunyai tiga aspek yang manunggal (Tritunggal). Dalam pengertian yang pertama, Ha, Na dan Caraka adalah ketiga aspek tersebut, sedangkan dalam pengertian kedua Caraka sendiri juga mengandung ketiga aspek yang sama yakni Cipta, Rasa dan Karsa.
Ca – Cipta rasa karsa kwasa.
Tritunggal Cipta, Rasa dan Karsa adalah aspek aspek yang mendasari kwasa / kekuasaan yang tertinggi (Maha Kuasa) diseluruh alam semesta.
Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh.
Aspek Rasa (Rahsa sejati) yang terkandung didalam Tritunggal diatas merupakan aspek kendali dalam kekuasaan yang Maha Tinggi tersebut.
Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat.
Karsa, hasil ataupun ‘wujud’ dari Tritunggal diatas adalah kwasa / ke-Maha-Kuasa-an yang masih murni, yang belum diwarnai oleh keinginan ataupun kehendak.
Manifestasi dari Tritunggal (Caraka, utusan Hyang Widhi) yang Maha Kuasa tersebut diatas terjelma / terjadi didalam alam Datasawala yang penuh dengan jajaran Monads, Logos dll. yang berkuasa penuh dalam alam manifestasinya masing masing.
2. DATASAWALA – Alam Monad / Logos (Atma?)
Da-ta-sa-wa-la menyiratkan alam kehidupan pada tingkatan Logos, (Solar / Planetary Logos) dan Monad / Atman. Pengalaman pribadi yang saya alami di bulan 12 Agustus 1980 meditasi di Hutan Pura Pucak Payogan yang lalu memberikan gambaran tentang alam ini, dimana kesadaran saya terlebur dalam sebuah ‘bola cahaya’, atau lebih tepatnya (karena tak ingat bentuk, pinggiran/batasannya), semacam awan yang mula mula berwarna kelabu dan semakin lama semakin cemerlang.
Juga dialami adanya Rasa kebahagiaan dan kebebasan yang tiada taranya (sempurna / perfect bliss) serta semacam ‘kesadaran’ tanpa menyadari siapa yang sadar, atas hubungan (inter-connected-ness) diantara ‘segalanya’, termasuk batuan, tumbuhan, hewan serta raga raga manusia walaupun tanpa ‘bentuk’ yang nyata maupun tenggang masa (diluar dimensi ruang dan waktu)
Semula saya mengira bahwa awan cemerlang tersebut adalah segalanya dalam alam semesta ini , saya menganggap bahwa apa yang saya alami mungkin baru mencapai tingkat Monadic atau Atman dan belum sampai kepada kemanunggalan yang tertinggi.
Ternyat awan cemerlang tersebut merupakan kesatuan dari berjuta-juta Ingsun/aku yang ber-evolusi bersama-sama.

Ternyata hal hal diatas sudah tersirat dalam rumusan Datasawala secara jelas:
Da – Dumadi kang kinarti
Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna sebagai Karsa (‘hasil’/’wujud’) dari Tritunggal (Caraka) diatas.
Ta – Tetep jumeneng ing ingsun tanpa niat.
Tetap berada dalam aku (Nur hidup cahaya yang membayang) diluar dimensi ruang dan waktu serta masih murni, belum diwarnai oleh kehendak atau niat, walaupun sudah membawa maksud, rencana dan maknanya masing masing.
Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit.
Sifatnya ‘ada’ namun tanpa asal usul. Kekal, berada diluar dimensi waktu dimana tidak ada perbedaan antara waktu lalu, sekarang maupun yang akan datang.
Wa – Wujud hana tan kena kinira.
Wujudnya ‘ada’ namun tak berbentuk. Manunggal, berada diluar dimensi ruang dimana tak ada perbedaan antara sini atau sana, dekat atau jauh, atas atau bawah, depan atau belakang.
La – Lali eling wewatesane.
Lupa ingat adalah batasannya. Tersirat dalam kalimat tiga kata diatas adalah terjelmanya niat, kehendak yang bebas, hanya dengan batasan ‘ingat’ ataupun ‘lupa’ akan maksud, rencana dan makna yang sudah digariskan semula sesuai Karsa Tritunggal diatas.
Dengan timbulnya ‘kehendak bebas’ maka ‘adalah’ / terjadilah Ingsun /aku (Higher Self / Guru Sejati) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Atman. Setiap Ingsun/aku dilengkapi oleh ‘kehendak’ / niat sesuai dengan karsa, maksud, rencana dan maknanya masing masing.
Manifestasi dari kehendak yang sesuai dengan karsa menciptakan alam ketiga, alam Ingsun yang tersirat dalam rumusan Padhajayanya.
3. PADHAJAYANYA – Alam Ingsun dan ingsun
Pa-dha-ja-ya-nya menyiratkan terciptanya dimensi ruang dan waktu. Dengan adanya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara Ingsun dan ingsun. Dan dengan adanya waktu terjadi pula proses evolusi.
Disini tersirat pula hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Adanya ‘Rasa’ membuat semuanya ‘nyata’ tanpa melihatnya dengan mata, dan semuanya bisa dimengerti walaupun tanpa diajari. Namun demikian dalam alam ini ‘rasa’ yang ada belum dapat diwujudkan.
Per‘wujud’an (karsa) dari rasa tersebut baru ter-manifestasi-kan dalam alam berikutnya.
Pa – Papan kang tanpa kiblat. Papan tak berkiblat.
Kata kata “papan” dan “kiblat” menyiratkan adanya dimensi ruang yang baru pertama kali disebutkan dalam tingkat Padhajayanya. Dihubungkan dengan teori ilmu fisika alam, dalam kalimat ini tersirat terjadinya “Big Bang”. Perlu ditambahkan bahwa masih banyak dimensi dimensi lain diluar ketiga dimensi ruang yang kita kenal.
Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane. Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya.
Terciptanya dimensi ruang segera disusul dengan terciptanya dimensi waktu. Dan dalam kalimat sederhana diatas tersirat pula adanya proses ‘evolusi’ dalam ‘waktu’ yang bermula dari kesederhanaan.
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti. Bersatunya antara hamba dan Tuannya.
Dengan terjadinya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara kawula/atman dan Gusti /Brahman walaupun masih berada dalam kesatuan.
Ya – Yen rumangsa tanpa karsa.
Adanya Rasa namun masih belum dilengkapi dengan karsa. (belum dapat di’wujud’kan).
Nya – Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki.
Dengan adanya Rasa semuanya di-’rasa’-kan nyata walaupun tanpa melihat dengan mata, dan semuanya bisa mengerti walaupun tanpa diajari.
Kedua kalimat terakhir diatas menggambarkan hakikat ingsun/aku yang masih bersatu dengan sang Ingsun/AKU. Dalam alam Padhajayanya yang berdimensi waktu, baik Ingsun maupun ingsun mengalami proses evolusi.
Ingsun sebagai bagian tak terpisahkan dari Monad-nya di alam Datasawala, ber-evolusi di alam Padhajayanya dalam rangka manifestasi dari ‘kehendak’ (niat) yang ada padanya sesuai Karsa yang telah digariskan. Tergantung dari tahapan evolusi yang dicapai, Ingsun dapat merupakan ‘kumpulan’ dari ingsun ingsun yang tak terbilang banyaknya, dimana jajaran ingsun tersebut juga ber-evolusi dari hasil pengalamannya ber-karsa di alam Magabathanga.
4. MAGABATHANGA – Alam jiwa dan raga
Ma-ga-ba-tha-nga menyiratkan alam jiwa dan raga, dimana ingsun ber’karsa’ dengan cara ber- re-inkarnasi berulang kali, untuk ‘hidup’ di alam ‘kematian’.
Dalam rangka me’wujud’kan rasa dengan ber’karsa’ dialam kematian, ingsun dibimbing oleh sang Ingsun (Guru Sejati) dan dibantu oleh Bayu Sejati yang merupakan bayangan dari kekuasaan yang tertinggi.
Karsa yang dilaksanakan dengan hidup di alam kematian adalah memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada (tanah, air, udara dan api) serta meracutnya sedemikian rupa sesuai dengan rasa yang hendak di-karsa-kan (diwujudkan).
Ma – Mati bisa bali. Mati bisa kembali.
Dalam hal ini, ingsun yang memasuki alam kematian memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada, akan kembali kealam kehidupan.
Ga – Guru Sejati kang muruki
Dalam rangka ber-‘karsa’, ingsun dibimbing oleh Ingsun (Guru Sejati)
Ba – Bayu Sejati kang andalani
Bayu Sejati yang merupakan bayangan kekuasaan yang maha tinggi merupakan bantuan yang dapat diandalkan dalam ber-karsa.
Tha – Thukul saka niat.
Karsa yang dilakukan dengan masuknya ingsun ke alam kematian timbul dari niat / kehendak yang luhur, yang timbul pada saat ‘lahirnya’ Ingsun sebagai bagian dari Monad di alam Datasawala.
Nga – Ngracut busananing manugsa
Meracut busana manusia ternyata adalah ‘misi’ utama dari ingsun yang menjelma sebagai manusia.
MISI – Karsa manusia di dunia ini.

Dari meng-kaji keempat jurus Hanacaraka secara bolak balik secara berulang kali selama dua minggu, pada akhirnya saya mendapatkan suatu gambaran tentang apa yang terjadi di alam semesta ini, dan apa sebenarnya ‘misi’ kita menjelma menjadi manusia secara berulang kali. Hal mana terjadi ketika saya mencoba menelusuri Hanacaraka dari bawah keatas, dari Nga sampai kepada Da dan secara tiba tiba teringat akan ajaran agama Hindu tentang Trimurti (Brahma, Wishnu dan Shiva) serta istilah


Hanacaraka di jurus Datasawala, secara tiba tiba membuka suatu wawasan yang sama sekali baru bagi saya.
Jurus Datasawala diatas menyiratkan alam pada tingkat Logos dan Monad yang memanifestasikan kehendaknya di alam Padhajayanya melewati proses evolusi.


Kembali ke Hanacaraka dari atas ke bawah, dari Ha sampai ke Nga, terlihat jelas bahwa “Ngracut busananing manugsa” adalah misi ingsun dan Ingsun untuk berpartisipasi dalam proses evolusi di bumi ini sebagai bagian dari evolusi semesta. misi untuk meracut busana manusia ini adalah sama dengan mengajak dan mendorong saudara saudara kita yang 9 untuk ber-evolusi. Saudara saudara kita tersebut sebenarnya merupakan bagian dari planetary logos bumi ini (Gaia) yang merupakan sub-logos dari Solar Logos yang mempunyai ‘acara’nya sendiri dalam memanifestasikan Cipta, Rasa, Karsa yang ada padanya.

Kita adalah ‘tamu’ yang datang untuk membantu.
Cerita tentang benua Atlantis yang tenggelam (hancur) menimbulkan pemikiran bahwa mungkin perkembangan evolusi yang terjadi pada saat itu telah menyimpang dari jalur evolusi yang sudah digariskan sebelumnya oleh Solar Logos dan kehendaki oleh Gaia.
Apakah perjalanan misi kita, manusia saat ini, masih sesuai dengan jalur evolusi Gaia yang telah digariskan????

Pura Mandara Giri Semeru Agung, Senduro, Lumajang

 

Pura Mandara Giri Semeru Agung (PMGSA) adalah pura yang terdapat di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Konon, Pura Mandiri Giri Semeru Agung dikenal sebagai tempat sakral dan dituakan kerajaan-kerajaan Hindu Bali. Meskipun baru dibangun tahun 1986, keberadaanya menjadi perhatian umat Hindu dari berbagai tempat, khususnya penganut Hindu Bali. Makanya, tidak heran kalau tempat ini setiap tahunnya menyedot perhatian puluhan ribu orang yang datang untuk melakukan upacara – upacara keagamaan dan sekaligus melakukan kunjungan wisata ritual. 

Ketika dibangun, Pura Mandara Giri bermula hanya berada diatas tanah pekarangan seluas 20 x 60 meter. Setelah 3 tahun kemudian, areal tanah berkembang menjadi dua hektar.
Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral.
Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang.
Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.
Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia.
Pemilihan lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.
Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang -- bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia -- yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung.

Gunung Semeru

Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru -- begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru -- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun.
Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru -- dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi.
Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.

Baca juga:
1. Tradisi Melasti di Pura Mandara Giri Semeru Agung
2. Video Dokumenter Upacara Adat Melasti, Mecaru, dan Ogoh-Ogoh dalam Menyambut Nyepi di Senduro, Lumajang, Jawa Timur