Indonesia adalah Negara kepulauan yang kaya akan
budaya dan keindahan panorama alamnya. Jajaran pulau, deretan pantai,
rimbunya hutan dengan gunung – gunung yang menjulang tinggi menjadikan
Indonesia sebagai Negara destinasi wisata pilihan di Asia Tenggara. Kali
ini saya akan mengajak anda mengenal Suku Tengger dan keindahan alam
Gunung Bromo yang terletak dikawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(TNBTS).
Suku Tengger adalah suku pegunungan yang berada
dilereng Gunung Bromo dan Semeru Pegunungan ini berada diwilayah
Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang Jawa Timur.
Keberadaan suku Tengger sering dikaitkan dengan Kerajaan Majapahit yang
pernah berkuasa pada priode tahun 1293 Masehi hingga abad ke 6
Legenda
Suku Tengger. Tengger berasal dari nama dua orang suami istri yang
menetap disuatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru. Rara Anteng
adalah anak seorang bangsawan yang cantik, (Nyai Dadap Putih) dan Joko
Seger adalah anak yang dilahirkan oleh ayah Pendeta. Wajahya ganteng dan
badanya sehat (seger). Keduanya kemudian menikah dan membuka kampung
baru. Kampung itu diberi nama “Tengger” yang di ambil dari awalan Rara
Anteng untuk awalan “Teng”, dan “Ger” dari Joko Seger.
Masa perkawinanya beranjak dewasa tetapi keduanya
belum dikaruniai anak, dengan berharap mereka akhirnya bersemedi dan
memohon kepada Dewa agar dikaruniai keturunan, setelah bersemedi mereka
mendapatkan wangsit dari Dewata, mereka akan dikarunia anak tetapi
dengan satu syarat. kelak jika anak bungsu sudah dewasa, Joko Seger dan
Rara Anteng harus merelakan anak bungsunya untuk dikorbankan kepada
Bharata Dharma dikawah Gunung Bromo.
Singkat cerita akhirnya pasangan Joko Seger dan Rara
Anteng dikaruniai anak yang banyak, yang berjumlah 25. Dari ke 25 anak
itu, anak bungsu yang bernama Dewa Kusuma dikorbankan kepada Bharata
Dharma dikawah Gunung Bromo sebagai tanda pengabdian dan untuk memenuhi
janjinya. Sebelum dikorbankan Dewa Kusuma berpesan agar setiap tahun
pada tanggal dan bulan dirinya dikorbankan, saudara dan anak cucu mereka
diharapkan mengirimkan korban dan sesaji. Pesan itu dilaksanakan turun
menurun hingga hari ini, ini lah asal muasal peringatan hari Kasodo yang
kita kenal
Masyarakat
Tengger beranggapan 25 anak Rara Anteng dan Joko Seger itu merupakan
nenek moyang mereka, nama 25 orang itu masih hidup dalam pikiran dan
hati masyarakat Tengger dan dikaitkan dengan tempat – tempat keramat
dimana mereka menyampaikan sesaji dan penyembahan kepada roh-roh yang
diyakini bisa memberikan keselamatan hidup. Nama ke25 tempat keramat itu
adalah :
- Tumenggung Kliwang. Dihubungkan dengan (Gunung Renggit)
- Sinta Wiji, dihubungkan dengan (Gunung Mindangan)
- Ki Rawit Klinting. Dihubungkan dengan (Lemah Kuning)
- Ki Rawit dihubungkan dengan (Sumber Air Semantik)
- Jiting Jenah dihubungkan dengan (Gunung Jinahan)
- Penganten Ical dihubungkan dengan (Gunung Pranten)
- Prabu Sewah dihubungkan dengan (Gunung Lingga)
- Cokro Pranoto dihubungkan dengan (Gunung Gandera)
- Tumenggung Klinter dihubungkan dengan (Gunung Pananjakan)
- Tunggul Wulung dihubungkan dengan (Cemoro Lawang)
- Raden Bagus Waris dihubungkan dengan (Gunung Batu Walang)
- Kaki Dukun dihubungkan dengan (Gunung. Watu Wangkuk)
- Ki Pranoto dihubugkang dengan (Gunun Poten)
- Kaki Perniti dihubungkan dengan (Gunung Bajangan)
- Tunggul Ametung dihubungkan dengan (Gunung Batok)
- Raden Masigit dihubungkan dengan (Gunung Masigit)
- Puspo Ki gentong dihubungkan dengan (Gunung Widodaren)
- Kaki Teku / Ni Teku dihubungkan sama dengan Ki Pranoto (Gunung Poten)
- Ki Dadung Awuk dihubungkan dengan (Gunung Wonongkaro)
- Ki Kedamiling dihubungkan dengan (Gunung Pusung Lingkir)
- Ki Sindri Jaya dihubungkan dengan ( Gunung Kedung Babat)
- Raden Sapu Jagat dihubungkang dengan (Gunung Pudak Lembu)
- Ki Jenggot dihubungkan dengan (Gunung Rujak)
- Demang Diningrat dihubungkan dengan (Gunung Semeru)
- Dewa Kusuma dihubungkan dengan (Gunung Bromo)
Jika merujuk tulisan H.E. Josper dalam buku Tengger
on Tenggereezen 1927 ada perbedaan panggilan. (ki = adalah sunan).
missal ki dadung awuk = sunan dadung awuk
Sementara itu ada pendapat yang berbeda tentang asal
muasal nama Tengger. Nama Tengger ini berasal dari suami istri yang
menetap di lereng Gunung Bromo bernama “Kaki Umah” dan “Nini Umah”
Keduanya adalah keturunan dari kerajaan Majapahit. Pendapat ini didasari
penemuan batu petilasan disalah satu desa yang merupakan tenger (tanda)
dari kata tenger inilah penduduk atau masyarakt itu dinamakan Tengger.
Jika
anda browsing di internet akan ada banyak tulisan yang mengaikatnya
(asal muasal suku Tengger) dengan Kerajaan besar Majapahit. Dalam
tulisan itu ada yang menyebutkan jika Rara Anteng yang menjadi legenda
suku Tengger adalah putri dari Raja Brawijaya, Raja Majapahit dan ada
juga yang menyebutkan jika Suku Tengger adalah suku yang dibagun oleh
prajurit-prajurit kerajaan Majapahit yang saat itu terdesak oleh
Kerajaan Islam Demak yang kemudian mendirikan perkampungan baru dilereng
Gunung Bromo dan Semeru.
Dari legenda yang sudah ada, saya mencoba menghimpun
sebuah kesimpulan baru bahwa, suku Tengger adalah bagian dari suku Jawa
Kuno yang menempati wilayah pegunungan Tengger yang sudah ada sejak abad
ke 7 Masehi pada periode kerajaan Kanuruhan (Kanjurahan) yang dipimpin
oleh Raja Gajayana (Malang) yang kemudian terus berkembang dipriode
kerajaan berikutnya (Kerajaan Kediri) dan mencapai perkembanganya di era
Kerajaan Majapahit. Kesimpulan saya ini hanya pandangan pribadi. Oleh
sebab itu masih dibutuhkan study literature yang lebih luas dan
mendalam.
Masyarakat Jawa pada jaman kerajaan Hindu-Budha
sangat percaya akan kekuatan yang bersifat adikodrati. Mereka
mempercayai kekuatan seorang raja yang dapat memberikan berkah dan
keselamatan. Semakin sakti seorang raja (pemimpin) semakin luas daerah
kekuasaanya, semakin aman wilayahnya, semakin subur lahan pertanianya
dan semakin jauh dari musibah dan bencana. Karna itulah pada umumnya
masyarakat Jawa bermukim tersentral dan tidak jauh dari pusat Kerajaan
(Keraton) dengan harapan bisa mendapatkan efek kekuatan sang raja berupa
berkah dan keselamatan. Keyakinan terhadap raja seperti ini masih bisa
dilihat di Keraton Yogyakarta. Kerajaan Kanjuruhan adalah kerajaan
pertama di-Wilayah Malang sebelum kerajaan Singosari. Kerajaan ini tidak
jauh dengan Pegunungan Tengger (suku tengger). Kondisi ini membuka
kemungkinan tentang hubungan kepercayaan (berkah dann keselamatan)
pemukiman suku Tengger dengan kerajaan yang berkuasa saat itu,
Kanjuruhan.
Pada kisaran abad ke 7 hanya orang-orang suci,
(pandita) yang tinggal dikawasan lereng gunung Tengger. Pandita ini
menghabiskan waktu untuk bersemedi di Gunung Bromo atau Gunung Brahma
dalam kosmologi Hindu-Budha. Kemudian petapa ini melahirkan seorang anak
tampan yang diberi nama Joko Seger (lihat halaman 1). Riwayat suku
Tengger (Joko seger dan Rara Anteng) ini selalu dibacakan saat prosesi
Upacara Adat Kasodo hingga saat ini.
Suku
Tengger terus berkembang di masa Kerajaan Kediri yang berkuasa sejak
abad ke 10 hingga tahun 1222 Masehi. Banyak orang suci yang berdatangan
untuk bersemedi dan beribadah dipegunungan Tengger dan kemudian menetap
disana. Penemuan Arkeologi berupa prasasti Tengger yang berangka tahun
851 Saka (929 Masehi) bisa menjadi bukti keberadaan kehidupan orang suci
(pandita) dipegunungan Tengger (sebelum Majapahit) sekaligus menjadi
bukti kemajuan peradaban dan budaya Tengger dalam hal ukiran (pahatan)
batu dan tulisan (prasasti).
Isi prasasti Tengger menyebutkan bahwa sebuah Desa
bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci
karena dihuni oleh hulun. Isi prasasti diatas diperkuat oleh prasasti
berikutya yang ditemukan didaerah Penanjakan (desa Wonokitri)
berangkakan tahun 1327 Saka (1405 Masehi. Era Majapahit). Prasasti ini
menyatakan bahwa desa Walandit dihuni oleh hulun Hyang (abdi Tuhan) dan
tanah di sekitarnya itu disebut hila-hila (suci). (Hefner, Robert. 1985. Masyarakat Tengger Dalam Sejarah Nasional Indonesia. Boston: University Boston).
Pada masa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang kemudian
digantikan oleh Kerajaan Islam pertama (Demak) tahun 1527 Masehi. Banyak
simpatisan Majapahit yang berkumpul didaerah-daerah menghimpun kekuatan
dan melakukan perlawanan. Pada tahun 1545 terjadi pertempuran sengit
didaerah Malang antara simpatisan Majapahit dengan Pasukan Islam
(Demak). (Pigeaud, 1985, Kerajan-kerajaan Islam di Jawa, Grafitipers)
Sejarah ini membuka kemungkinan jika simpatisan Majapahit itu keteteran
saat melawan pasukan kerajaan Islam Demak dan akhirya
berbondong-bondong berlindung dipegunungan Tengger karna letak Malang
dengan Pegunungan Tengger tidak terlalu jauh. Mereka kemudian hidup dan
menetap disana. Sebagian simpatisan Majapahit lainya berpindah tempat ke
Blambangan (Banyuwangi) yang merupakan Kerajaan Hindu terakhir di pulau
Jawa sebelum ditaklukan oleh kerajaan Mataram Islam dan sebagian lainya
menyebrang ke pulau Bali.
Suku Tengger dengan Majapahit memiliki hubungan yang
erat, jauh sebelum terjadinya perpindahan besar-besaran simpatisan
Majapahit ke pegunungan Tengger pada kisaran tahun 1527 – 1550 Masehi.
Ini bisa dibuktikan dari peninggalan Kerajaan Majapahit berupa “prasen”
tempat air suci yang terbuat dari kuningan bergambar patung dari Dewa
dan zodiak agama Hindu. Sebagian besar “prasen” yang digunakan di
Tengger berangka tahun Saka antara 1243 dan 1352 (Masa Majapahit).
Peninggalan tempat air dari kuningan berukiran ini membuktikan dua hal.
Pertama hubungan suku Tengger dengan Majapahit, kedua puncak kemajuan
kebudayaan suku Tengger dari segi peninggalan.
Prasen ini masih digunakan hingga saat ini oleh para
pandita (dukun) Suku Tengger. Kedekatan Suku Tengger dengan Majapahit
diperkuat naskah yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang berangka
tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang
dihadiahkan kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton
Majapahit.
Semakin banyak cerita tentang legenda Suku Tengger
semakin memberikan banyak pegetahuan kepada kita. Dari beberapa legenda
suku Tengger yang ada, anda bebas memilih cerita legenda mana yang ingin
anda percayai. Legenda tetaplah legenda, akan selalu menjadi bingkai
cerita suatu tempat, daerah atau suku secara turun menurun yang
memberikan warna budaya di Indonesia
Kehidupan
masyarakat Tengger dikenal masyarakat yang teratur, dan serasi . jarang
terjadi perselisihan, permusuhan antar sesama. ini dikarenakan
masyarakat Tengger memiliki tujuh pedoman kehidupan yang dipegang teguh.
Tujuh pedoman ini biasanya di bacakan pada hari raya Kasodo. Ketujuh
pedoman itu antara lain :
- Hong pukulan maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing tamah (Yang Maha Kuasa pelindung seluruh mahluk mengetahui amal perbuatan manusia, memberikan berkahnya pada bulan kasodo)
- Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing manah (hendaknya mansuia berbuat amal kebajikan, merubah perbuatan buruk menjadi baik, memperhatikan gerak hati yang bersih)
- Kang adoh pinerekaken , kang parek tinariko nang aron-aron (orang yang jauh dari kebaikan supaya diingatkan untuk berbuat baik dan diajak mendekatkan kepada Tuhan)
- Angrasuko ajang kang pinuju ing sang hyang sukmo (kerjakanlah perbuatan yang baik supaya selamat jiwa dan raga dan mendapatkan ridho Tuhan)
- Jiwo raga sinusupan babahan werno songo (hendaklah jiwa raga terjaga segala sesuatu yg memasuki lobang 9 pada manusia).
- Ngelingono jiwo premono hanimboho banyu karabayuan (hendaklah manusia mempunyai hati yang bersih dan berbuat kasih sayang terhadap semua mahluk)
- Deniru neediyo nyondro nitis spisan kerto rahayu palinggihane titi yang lurah, lurah kyabi dukun sagunge anak putu andoyo puluh. (bila petunjuk2 tesebut dilaksanakan dengan sabaik-baiknya dengan jiwa mantap oleh seluruh lapisan masyarakat, maka manusia setelah mati akan mendapatkan ketentraman dan kebahagian jiwa yang disebut sebagai mati sempurna)
Selain ketujuh pedoman hidup, suku Tengger mempunyai
tujuh tuntunan kasih sayang atau yang dikenal dengan “Tuntunan Welas
Asih Pepitu”. Isi ketujuh tuntunan kasih sayang itu adalah :
- Tansah welas asih dumanteng jiwo raga pribadi . (setiap orang selalu ingat menjaga dirinya memilhara panca inderanya dari perbuatan yang tercela)
- Tansah welas asih dating hyang maha agung. (supaya setiap orang selalu berbakti dan mengagunkan Tuhan Yang Maha Kuasa)
- Tansah welas asih dumateng ibu pertiwi. (setiap orang harus menjaga dan berbakti kepada bumi tumpah darahnya)
- Tansah welas asih dumateng bapo biyung (setiap orang harus berbakti kepada orang tuanya)
- Tansah welas asih dating sesamining janmo manuso ing saklumahing bumi sak kurebing langit. (supaya setiap orang harus slalu kasih sayang terhadap sesama manusia dipermukaan bumi ini)
- Tansah welas asih dumateng seto kewan (setiap orang harus slalu sayang terhadap mahluk bintang)
- Tansah welas asih dating tuwuh tandur powijo karang kirno kanan kiri, (setiap orang harus selalu memelihara dengan baik semua tanaman, pohon-pohonan dan sebagainya)
Nilai
– nilai positif pedoman suku Tengger ini bisa kita adopsi kedalam
kehidupan kita sehari – hari agar tercipta hubungan kehidupan social
yang harmonis antar sesama.
Pandita atau Dukun Tengger memiliki peran yang
penting bagi masyarakat Tengger karena seluruh upacara keagaamaan adat
dan pencarian waktu baik atau hari baik tidak dapat dilepaskan oleh
peranan dukun. Siapun bisa menjadi dukun asal orang tersebut lulus ujian
menjadi dukun yang diadakan tiap tahun saat perayaan Kasodo.
Untuk
melakukan tugasnya sebagai dukun, dukun dibantu oleh pembantunya yang
terdiri dari:”wong sepuh”, jabatan wong sepuh ditetapkan oleh petinggi
berdasarkan kecakapanya dalam melaksanakan tugas,. Wong sepuh inilah
yang membantu menyediakan persyaratan sajian dan menjadi saksi
“Dandan”. yakni seorang wanita pembantu dukun yang
bertugas memeriksa syarat sesaji dan selamatan yang akan dilaksanakan
“Legen” adalah. Pembantu dukun yang merupakan pesuruh untuk
mempersiapkan alat-alat upacara dan pembakaran dupa.
Dalam masyarakat Tengger terdapat beberapa upacara
adat yang dilakukan secara besar, rutin dan bersama-sama, misalnya
upacara tahunan Kasodo dan Karo Selain itu ada juga upacara adat yang
bersifat individu. Missalnya, Upacara tujuh bulanan (sayut), Upacara
indung anak, Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel Kuncung
(perempuan), Upacara Wala gara atau Temu Manten dll. Acara adat besar
yang akan saya tulis adalah upacara Karo dan Kasodo.
Upacara
Karo adalah hari raya adat suku Tengger yang dirayakan bersama-sama
secara besara-besaran pada pertengahan bulan karo setiap tahun. Upacara
ini dilaksanakan selama tujuh hari, selama itu mereka saling kunjung
mengunjungi untuk memperat tali silaturahim (persaudaraan) yang
istilahya disebut sambung batin
Asal muasal diadakanya perayaan Karo menurut cerita
masyarakat Tengger adalah untuk memperingati meningalnya dua orang abdi
yang setia dalam melaksanakan tugasnya. Yaitu seorang bernama “Setio”
abdi dari Aji Saka dan seorang lagi bernama “Satuhu” abdi dari Kanjeng
Nabi Muhamad. Siapa Aji Saka? bisa baca tulisan dalam bentuk legenda
(C.C.Berg, penulisan sejarah jawa, bahtwera, Jakarta 1972)
Pada suatu hari Aji Saka berkungjung ke rumah Nabi
Muhammad, teteapi pada saat ingin pulang keris pusaka yang dibawanya
tertinggal. Oleh karena itu diperintahkanlah orang kepercayaanya yaitu
Setio untuk mengambilnya dikediaman Nabi Muhammad.
Sebaliknya ketika Nabi Muhammad mengetahui keris
pusaka milik Aji Saka tertinggal Beliau langsung mengutus seorang
kepercayaanya Satuhu untuk mengembalikan keris puusaka itu kepada Aji
Saka sendiri. Dan berpesan jangan memberikan keris itu kepada siapapun
kecuali kepada pemiliknya Aji Saka.
Ditengah jalan kedua orang kepercayaan itu bertemu.
Setelah saling tegur sapa keduanya menyampaikan maksut dari keperginaya.
Setio menceritakan jika diutus oleh Aji Saka untuk mengambil keris
pusaka yang tertinggal, begitu juga sebaliknya Satahu menyampaikan
alasan kepergianya untuk menyerahkan keris pusaka Aji Saka yang
tertinggal langsung kepada Aji Saka.
Akhirnya terjadi perselisihan antara Setio dan
Satahu. Setio yang melihat keris pusaka kepunyaan Aji Saka berusaha
merebut keris itu untuk dibawa pulang sesuai perintah Aji Saka. Dan
sebaliknya, Satahu bersi keras untuk mempertahankan, memegang amanat
dari Nabi Muhammad, bahwa keris pusaka itu harus diantar langsung kepada
pemiliknya Aji Saka.
Keduanya terlibat perkelahian dan saling menunjukan
kesaktianya. Tetapi diantara keduanya tidak ada yang kalah dan tidak ada
yang menang. Keris pusaka yang diperebutkan itu dipakainya untuk saling
menusuk, dan kedua utusanya itu pun akhirnya meninggal. Sang Aji Saka
dan Nabi Muhammad lama menunggu kedatangan dua utusanya. Karena tidak
kunjung datang masing-masing mencarinya.
Ditengah perjalanan masing-masing menemukan kedua
orang utusanya tergeletak meninggal, mayat Setio tergeletak membuju
kearah selatan dan mayat Satuhu membujur kea rah utara. Karena itu jika
orang Tengger meninggal mayatnya dikubur membujur kearah utara.
Meningalnya kedua orang utusan itu diadakan upacara salamatan dari asal
mula selamatan inilah adanya upacara Karo.
Pelaksaana Karo diadakan dirumah petinggi
bersama-sama dan rumah warga desa. Perayaan dirumah petinggi diadakan
terlebih dahulu dan baiaya dipukul bersama seluruh warga desa. Untuk
merakamaikanya seringkali diadakan hiburan , pertunjukan seperti ludruk.
Tujuan upacara Karo ialah memohon selamat untuk
penghormatan kepada bapak dan ibu. Karena dengan perantara keduanyalah
Tuhan telah menyebarkan bibit manusia, acara ini dipimpin oleh dukunHari
Raya Kasodo adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger
setiap tahun pada bulan (saddo) sepuluh pada pertengahan bulan. Upacara
Kasodo ini sangat dinanti oleh masyarakat Tengger. Mereka percaya jika
meraka tidak turut merayakan kehidupanya tidak akan tentram. Sebailknya
jika mengikuti upacara Kasodo dan merayakanya kehidupan meraka akan
selamat dan dimurahkan rejekinya dan diberi kesehatan. Karma itu jauh
sebelum perayaan Kasodo masyarakat tengger telah mempersiapkan segala
sesuatu yang diperlukanya
Pusat kegiatan berada di lautan pasir gunung Bromo,
di Pura Poten. Dan Desa Ngadisari sebagai pusat keramaian sebelum acara
di lautan pasir. Dukun desa Ngadisari menjadi pimpinan upacara sekaligus
menjadi kepala dukun diseluruh masyarakat Tengger.
Upacara ini diadakan malam hari. Sore hari sebelumnya
acara diadakan dibalai desa Ngadisari (resepsi) didesa ini diadakan
hibura sebagai prosesi upacara, sebelum melakukan upacara puncak di pura
lautan pasir Gunung Bromo, Ratusan orang datang untuk upacara dan
berwisata (Wisata Budaya)
Umumnyua sebelum puncak acara Kasodo masyarakat
terlebih dahulu mengadakan sesajian ditempat yang bernama watu baling,
watu mungkuk dan watu dukun. Diwatu baling orang mengambil batu sebesar
gengaman dan berkeliling sebanyak tiga kali. Arah putaranya searah jarum
jam. Setelah berputar tiga kali kemudia naik keatas batu dengan
menyampaikan niat yang diinginkanya sambil melempar batu ke lautan pasir
Di watu wungkuk prosesinya berbeda yaitu dengan cara
membakar kemenyan dibawah batu itu, sambil mengutarakan niat dan
memberikan sesaji berupa bunga-bunga, buah-buahan dll. Jika niatnya
terkabul pemohon wajib menyanpaikan korbanya ke kawah Gunung Bromo
Prosesi
kegiatan di Pura Poten pertama kali adalah pembukaan atau ujub yaitu
mengayubagyo (memulyakan) paara hadirin. Kemudian para dukun membacakan
mantra untuk keselamatan desa. Selanjutya mumunen ujian bagi calon dukun
untuk membacakan mantra Kasodo. Yang dapat menghafal mantra-mantra dan
setelah mendapat persetujuan para dukun mulai dari brang wetan dan brang
kulon. Maka calon dukun itu dinyatakan lulus menjadi dukun. Berikutnya
wewerah yakni memberikan penerangan kepada hadirin yang disampaikan
dukun tentang riwayat Tengger dan hari raya Kasodo. Tingkah laku yang
baik dan petunju tentang kehidupan. Setelah itu menuju ke kawah Gunung
Bromo untuk menyampaikan korban (sesaji). Setelah itu selamatan pagi.
Indonesia kaya akan budaya. Dengan mempelajari suku
dan budaya suku Tengger atau suku lain akan memberikan banyak nilai
positif terhadap diri. Selain kearifan lokal, pengetahuan dan wasasan
kita pun semakin luas. kebanyakan orang yang berkunjung ke gunung Bromo
(TNBTS) hanya menikmati keindahan panorama alamnya saja, sejarah dan
budaya suku daerah lokasi wisata menjadi tidak penting. Padahal tempat
wisata alam tidak dapat dipisahkan dari legenda, mitologi dan budaya
daerah lokasi wisata tersebut berada. Mari ber-Wisata sehat, berwisata
yang tidak hanya menikmati keindahan alamnya saja tetapi juga
mempelajari kearifan lokalnya dan menjaga kelestarianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar