Teologi
metafisik merupakan wilayah kajian metafisika yang membicarakan tentang
Tuhan. Tuhan sebagai obyek kajian metafisika memiliki kekhususan
dibanding kedua obyek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah
dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama
tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak
tidak dapat ditangkap indera. Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan
disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari
teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan
mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh
pengkajiannya, maka teologi wahyu memandang Tuhan sebagai titik awal
pembahasannya.
Filsafat
ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang
didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi
naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya
ingin menggaris bawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang
tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak
dapat dipahami akal.
Dari
hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang
berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi,
kosmologi, teleologi, moral, Henelogical argument dan ini
sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat dibanding dari
pendekatan agama maupun ilmu di atas. Ilmu terbatas pada pembuatan
deskripsi yang didasarkan atas pengalaman empirik sedangkan agama
berangkat dari keyakinan terhadap satu dokrin.
Argumentasi Tentang Tuhan Dalam Perspektif Filsuf Barat
Seperti
yang telah disebutkan pada pendahuluan diatas tentang beberapa macam
pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan;
yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, moral, dan Henelogical argument, maka
filsuf Barat dalam melakukan pembuktian menuju Tuhan memakai pendekatan
tersebut. Adapun filsuf Barat yang melakukan pembuktian tentang Tuhan
sebagai berikut:
a.Via Ontologis Anselmus
Pembuktian
ini diperkenalkan oleh Anselmus (1033-1109) untuk memenuhi permintaan
seseorang biarawan untuk menyusun argumen yang membuktikan adanya Tuhan
atas dasar rasio dan tidak atas dasar kitab suci. Memenuhi permintaan
ini, Anselm menyusun argumen yang terkenal dengan sebutan “argumen
ontologi”. Secara kongkrit ajaran Anselmus Van Canterburi
tentang kepercayaan dan akal telah dipergunakan sewaktu ia mengemukakan
pembuktiannya tentang adanya Tuhan. Anselmus beranggapan untuk
mengetahui bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi
dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Anselmus
menginginkan kepercayaan atau keyakinan yang ditimbulkan oleh agama
tumbuh menjadi pengertian dalam sebuah landasan keilmuan. Untuk
memperoleh pendasaran epistemologis mengenai kepercayaan (intelectus Fidei)
ini, Anselmus mulai dengan satu pokok pangkal, yaitu bahwa bagi setiap
orang Tuhan itu berarti Yang Maha Tinggi dari segala sesuatu yang dapat
dipikirkan oleh manusia.
Menurut
Anselmus yang Maha Besar (yang Maha Tinggi) dari segala sesuatu yang
dapat dipikirkan itu mustahil hanya terdapat di dalam alam pikiran saja.
Sebab andai kata demikian halnya, sudah barang tentu dapat dipikirkan
pula bahwa yang Maha Besar itu juga terdapat di dalam alam kenyataan,
hingga dengan demikian yang Maha Besar itu makin menjadi yang Terbesar.
Jadi tidak boleh tidak yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu harus ada
pula di dalam kenyataan. Dari hal inilah titik tolak argumen Anselmus
melalui jalan ontologis untuk menuju Tuhan.
Menurut
Anselmus suatu pernyataan adalah jelas dari dirinya kalalu predikatnya
sudah tercakup dalam subyek (pernyataan analitis), apalagi untuk
pernyataan yang predikatnya bertepatan dengan subyek (pernyataan
identik). Dalam pernyataan Allah itu Ada, subyeknya: Allah atau Eksistensi Substansial Ilahi, sudah memuat predikat Ada,
karena di situ termuat totalitas kesempurnaan-kesempurnaan; Tidak
seorangpun menyangkal bahwa Eksistensi Tuhan sungguh-sungguh identik
dengan essensi-Nya, bahkan lebih lagi eksistensi itu adalah secara
formal adalah essensinya. Jadi nampaknya pernyataan Allah itu Ada, bagi yang mengerti artinya perkataan itu mempunyai kejelasan langsung yang sama dengan pernyataan ini, Kuadrat itu mempunyai empat sudut atau lingkarang itu bulat. Hanya saja essensi Tuhan, pada diri-Nya sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita. Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap sendiri
tidak dapat ditangkap oleh roh kita, Akibatnya kebenaran dari adanya
itu tetap tinggal tidak jelas secara langsung. Untuk menunjukkannya,
kita memerlukan suatu perantaraan, suatu proses rasional.[1]
b.Via Kosmologi
Albertus
Magnus (1193-1280) juga menolak argumen ontologi Anselmus dan sebagai
gantinya ia mengajukan argumen kosmologi. Secara kongkrit, argumen ini
mengatakan bahwa pembuktian ini pada dasarnya diperoleh mlalui observasi
langsung terhadap alam semesta. Pembuktian ini sangat beragam, baik
segi pendekatan maupun data-data yang diolah. Tetapi yang jelas
pembuktian ini berangkat dari problematika yang terjadi di alam semesta,
baik keteraturan, kejadian, peristiwa yang berlangsung di alam,
sesungguhnya bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi ada yang
mengatur. Pada akhirnya argumen ini sampai pada kesimpulan puncak bahwa
yang mengatur itu adalah Tuhan Yang Maha pengatur.
Via
kosmologis ini pertama kali dicetuskan oleh Plato dengan melakukan
pembuktian adanya tuhan berdasarkan dua macam gerakan yang ada di dunia
ini. Yaitu gerakan asli dan gerakan yang digerakan. Gerakan asli hanya
bisa dilakukan oleh wujud yang hidup, sedangkan gerakan yang digerakan
tergantung pada gerakan dari wujud yang hidup. Plato menyatakan bahwa
seluruh gerak alam semesta ini secara mutlak disebabkan oleh aktivitas
sesuatu yang berjiwa. Wujud yang berjiwa inilah yang mengatur dan
memelihara, sehingga disebut Maha pemelihara dan bersifat Maha
bijaksana. Wujud yang hidup itu adalah Tuhan.
Pembuktian Aristoteles secara Kosmologis tentang adanya Tuhan, sebagaimana dalam karyanya Metaphysics adalah bahwa Tuhan dipandang sebagai penggerak pertama. Teori ini pada dasarnya berpangkal dari pemikirannya mengenai Hylemorphism, yaitu materi (hyle) dan bentuk (Morphe).
Materi bersifat potensial, yakni mempunyai kemungkinan untuk
berubah-ubah. Sedangkan bentuk bersifat aktual, tetap, tidak
berubah-ubah dan yang memberi gerak pada materi. Keduanya dihubungkan dengan gerak. Adanya gerak karena adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan merupakan wujud yang tidak digerakkan. Semua tergantung dari diri-Nya, maka ia pastilah Tuhan.[2]
c. Via Teleologi
Pembuktian
teolologis merupakan pembuktian yang lebih spesifik dari pembuktian
kosmologis. Pembuktian ini pada dasarnya berangkat dari kenyataan
tentang adanya aturan-aturan yang terdapat dalam alam semesta yang
tertib, rapi dan bertujuan. Dengan demikian, secara sederhana,
pembuktian ini beranggapan adalah: 1). Serba teraturnya alam memiliki
tujuan, 2). Serba teraturnya dan keharmonisan alam ini tidaklah oleh
kemampuan alam itu sendiri, 3) Di balik alam ini ada sebab yang maha
bijak.
Apa
yang bisa dicapai oleh pembuktian ini hanyalah adanya arsitek alam yang
dibatasi pada adanya persediaan materi alam, dan bukan adanya pencipta
alam dimana segala sesuatunya tunduk kepadanya. Berangkat dari realitas
tersebut di atas, maka dengan memperhatikan setiap susunan alam semesta
yang sangat tertib dan bertujuan dapat kita pastikan bahwa terdapat
suatu zat yang Maha pengatur dan Pemelihara, sekaligus menjadi tempat
tujuan dari alam semesta.[3] Bukti teologis ini dianggap oleh para teolog maupun filosof sebagai bukti yang cukup kuat diantara bukti-bukti klasik lainnya.[4]
d. Via Moral
Pembuktian
moral mengenai adanya Tuhan merupakan pembuktian yang paling sahih dan
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional-intelektual diantara
bukti-bukti lainnya tentang adanya Tuhan. Pembuktian moral ini pertama
kali dicetuskan oleh Immanuel Kant yang merasakan bahwa pembuktian logis
tentang Tuhan berdasarkan pada fakta kosmologis tidak dapat membawa
pada kesimpulan yang cukup valid bahwa Tuhan itu ada. Itulah kritikan
Kant tentang pembuktian Kosmologis. Untuk itu, Kant memberikan solusi
melalui pembuktian moral. Menurut Kant perasaan manusialah yang dapat
membuktikan dengan memuaskan tentang adanya Tuhan.
Selanjutnya, Kant memberikan penjelasan yang sistematis mengenai akal teoritis dan akal Praktis.
Menurut Kant ada dua cara akal berhubungan dengan obyeknya. Pertama,
akal mampu menangkap objek luar diri. Ini adalah akal teoritik. Kedua,
akal dapat menciptakan konsep atau ide menjadi riel. Ini adalah akal
praktis yang fungsinya mengadakan pilihan-pilihan moral dan
merealisasikannya sesuai aturan-aturan moral yang ditetapkan oleh
dirinya sendiri.[5] Akal praktis atau the will of the rational being bertujuan mencapai summum bonum, yakni suatu kebaikan yang sempurna yang meliputi kabajikan dan kebahagiaan. Menurut Kant, Summum bonum adalah tujuan akhir yang ditetapkan sendiri oleh akal secara a priori,
dan untuk mencapai itu manusia harus tunduk kepada moral. Setiap orang
menyadari dirinya benar-benar terikat oleh aturan-aturan moral.[6]
Aturan-aturan moral itu menuntut terpenuhinya summum bonum, dan
hanya Tuhan saja yang bisa menjamin terpenuhinya ini dan itu pun tidak
terjadi dalam kahidupan sekarang ini melainkan dalam kahidupan setelah
sekarang ini. Oleh sebab itu, Tuhan pastilah ada. Tuntutan moral akan
kehidupan bahagia membawa kita kepada keyakinan akan adanya eksistensi
yang menjadi sebab bisa terpenuhinya tuntutan moral ini. Atau dengan
kata lain, tuntutan moral bagi terwujudnya summum bonum memastikan adanya Tuhan sebagai Author atau Being yang
mewujudkan summum bonum. Kesadaran bahwa Tuhan ini bersifat immanen
(fitrah diri) yang berbeda di dalam kesadaran moral dan ini merupakan
bukti yang cukup akan adanya Tuhan. [7]
Dengan
demikian, pembuktian moral secara ringkas dapat dikemukakan sebagai
berikut : bahwa manusia memiliki perasaan moral yang telah tertanam
dalam jiwanya sejak ia dilahirkan. Manusia merasa mempunyai kewajiban
untuk menjauhi, perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Perintah
yang terdapat di sanubarinya ini bersifat mutlak dan universal karena
perintah ini dirasakan oleh seluruh manusia, sehingga adanya kebajikan
itu bersifat universal. Adanya perasaan universal ini membuat kita akan
mampu melakukan ataupun menjauhi sesuatu yang baik dan buruk. Adanya
perasaan ini membuat manusia melakukan kebajikan karena adanya zat yang
akan memberikan balasan. Zat yang memberikan balasan inilah yang disebut
Tuhan.
Via derajat kesempurnaan Thomas Aquinas
Pembuktian mengenai adanya Tuhan yang dilontarkan Thomas Aquinas bisa disebut juga Henological Argument,
sebenarnya merupakan kritikan Thomas Aquinas terhadap gagasan Santo
Anselmus. Pandangan Anselmus bagi Thomas Aquinas tanpa ragu-ragu
ditolaknya dan mengkritik pembuktian ontologis dalam Proslogion
sebagaimana dipahaminya. Thomas Aquinas tidak menerima bahwa hanya dari
pengertian tentang ada, yang Maha Tinggi atau dari yang Tertinggi yang
dapat dipikirkan.[8] Kritik Thomas Aquinas terhadap pembuktian ontologis Anselmus meliputi tiga hal :
a. Santo
Thomas Aquinas menyanggah ekuivalensi antara konsep tentang Allah yang
tertinggi yang dapat dipikirkan: ”Barangkali orang yang mendengar kata
Tuhan, dia sama sekali tidak membayangkan suatu ada yang sedemikian
sehingga yang lebih besar dari pada itu tidak dapat dibayangkan lagi”.
b. Eksistensi
Tuhan, yang jelas dirinya sendiri tidak jelas lagi bagi kita yang tidak
merasakan essensi-Nya. Kita mengetahui jawaban tersebut. Jawaban itu
ditujukan lebih-lebih bagi mereka yang melihat adanya suatu pernyataan
yang secara langsung jelas, dalam putusan ini “Tuhan Ada” dan bukannya
ditujukan kepada Anselmus, yang mengakui kejelasan ini lewat suatu
penalaran, tetapi karena penalaran ini tidak mempunyai tujuan lain
selain untuk membuktikan adanya suatu evidensi yang tersembunyi dalam
bahasa, maka kritik Thomas Aquinas pun mengena untuk membuktikan Tuhan
secara ontologis versi Anselmus.
c. Akhirnya,
jawaban yang menjadi klasik dan seperti yang pertama menyanggah
Anselmus. Marilah kita setujui bahwa Tuhan dipahami sebagai yang
tertinggi yang dapat dipikirkan. Dari fakta bahwa saya memikirkan ini
ternyata bahwa yang tertinggi dapat dipikirkan itu berada dalam
pemikiran saya, tetapi bukan berarti bahwa ia ada dalam realitas.
Pertama-tama harauslah dibuktikan bahwa obyek yang demikian itu yang
lebih besar daripada itu tak mungkin dapat dibayangkan.[9]
Pembuktian mengenai adanya Tuhan yang dilontarkan Thomas Aquinas bisa disebut juga Henological Argument.
Pemikiran Aquinas tentang Tuhan merupakan pusat dari hampir seluruh
pemikirannya. Hal ini didasarkan atas keyakinannya bahwa Tuhan adalah
awal dan akhir segala kebijakan. Semua realitas itu dibimbing Tuhan.
Tanpa bimbingan Tuhan manusia tidak mengetahui apa-apa. Aquinas
mendasarkan pemikirannya pada kepastian adanya Tuhan. Keberadaan Tuhan
itu, menurutnya dapat diketahui oleh akal. Untuk membuktikan pendapatnya
itu, ia menunujukkan lima argumen sebagai berikut: [10]
Pertama
argumen gerak. Argumen ini diangkat dari sifat alam dan segala sesuatu
yang ada di dalamnya yang selalu bergerak. Setiap yang bergerak pasti
digerakkan oleh sesuatu yang lain. Sebab tidak mungkin
suatu potensialitas bergerak keaktualitas tanpa ada penyebabnya; dan
penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri. Kemudian, timbul
persoalan bila demikian berarti penggerak itupun memerlukan penggerak di
luar dirinya. Akhirnya akan terdapat penggerak berangkai yang tidak
terbatas, yang konsekwensinya berarti tidak ada penggerak. Menjawab
persoalan ini Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka harus
ada penggerak pertama, yaitu penggerak yang tidak digerakkan oleh yang
lain, itulah Tuhan. Kesimpulan ini nampaknya sama persis dengan yang
dikemukakan oleh Aristoteles.[11]
Kedua
argumen sebab yang mencukupi. Di dunia ini tidak ada sesuatu yang
mempunyai sebab pada dirinya sendiri. Karena bila demikian ia mesti
menjadi lebih dulu dari dirinya. Sedangkan itu tidak mungkin. Dalam
kenyataannya yang adalah adalah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh
sebab berurutan secara teratur : Sebab pertama menghasilkan musabab, dan
musabab ini menghasilkan musabab yang lain, dan seterusnya. Membuang
sebab sama dengan membuang musabab. Artinya, menurut Aquinas bila tidak
ada sebab pertama tentu tidak akan ada rangkaian sebab tersebut, dan itu
berarti tidak akan ada apa-apa. Sedangkan kenyataannya; “apa-apa itu
ada”. Berarti memang ada sebab pertama, ialah Tuhan.
Ketiga
argumen kemungkinan dan keharusan. Adanya alam ini bersifat mungkin,
dan segala sesuatu yang ada di dalamnya juga bersifat mungkin ada dan
mungkin tidak ada. Kesimpulan itu diambil dari kenyataan bahwa alam dan
isinya ini dimulai dari tisdak ada, lalu muncul, berkembang, rusak dan
menghilang. Konsekwensinya alam ini tidak mungkin selalu ada, karena ada
dan tidak ada tidak mungkin menjadi sifat sesuatu sekaligus dalam waktu
yang sama. Kenyataannya alam dan isinya itu ada, Berarti harus ada
sesuatu yang ada, karena tidak mungkin muncul yang ada itu apabila ada
pertama tidak ada. Ada pertama itu harus ada karena alam dan isinya itu
kenyataannya ada. Yang ada pertama itu Dialah Tuhan.
Keempat
argumen tingkatan. Isi alam ini memiliki tingkatan, dalam hal
keindahan, kebaikan, dan sebagainya. Misalnya ada yang indah, lebih
indah, dan terindah. Tinggi, lebih tinggi, dan tertinggi atau maha
tinggi. Tingkatan tertinggi menjadi sebab adanya tindakan di bawahnya.
Begitu juga tentang ada. Tuhan memiliki sifat ada yang tertinggi. “Ada”
yang ada di bawahnya disebabkan oleh ada yang tertinggi tersebut.
Kelima
argumen keteraturan alam. Isi alam dari jenis yang tidak berakal,
kenyataannya dapat bergerak menuju tujuan tertentu secara teratur, dan
pada umumnya berhasil mencapai tujuannya. Padahal mereka itu tidak
mempunyai pengetahuan tentang tujuan tersebut. Berarti ada
sesuatu di luar dirinya yang mengatur itu semua. Karena sesuatu yang
tidak berakal tidak mungkin dapat mencapai tujuan, tanpa ada yang
mengaturnya. Sesuatu yang mengatur alam dan isinya itu harus ada, harus
berakal, dan harus berpengetahuan. Itulah Tuhan. [12]
Argumen Tentang Tuhan Dalam Perspektif Filsuf Muslim
Pembuktian
adanya Tuhan tidak hanya menjadi perbincangan para filosof Barat,
tetapi juga menjadi pembicaraan para filosof dan teolog Muslim, seperti
yang dilakukan oleh para filosof dan teolog Muslim yang menjadi pengikut
Mu’tazilah maupun al-Asy’ariyah. Pembuktian-pembuktian tersebut
dibedakan menjadi 3 dalil, yaitu :
Dalil Kebaharuan (Dalil al-Huduts)Argument a novitate mundi (dalil al-huduts),
yang pada dasarnya menekankan kesementaraan alam semesta, sebenarnya
telah digunakan secara populer oleh mutakallimun (teolog-teolog Muslim)
ketimbang para filosof muslim (falasifah). Dan “prosedur umum yang
digunakan para mutakallimun dalam membuktikan temporalitas alam semesta,
“ kata Majid Fakhry, “ialah dengan cara menunjukkan bahwa alam yang
mereka definisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, itu terdiri dari
atom-atom dan aksiden-aksiden. Aksiden-aksiden tersebut dikenal dengan ‘ardl
yaitu bahwa semua benda mengalami perubahan keadaan yang
bermacam-macam, baik yang berupa bentuk, warna, gerakan, bergantian,
surut dan perubahan-perubahan lainnya. [13]
Setiap
aksiden hanya bisa bertahan sesaat, dan harus dicipta secara terus
menerus oleh Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Menurut
Al-Kindi, yang mana beliau seorang filosof yang berorientasi teologi,
menolak dengan tegas konsep apapun yang mengimplikasikan keabadian alam
semesta, yang dengan lekat di pertahankan oleh Aristoteles dan para
pengikutnya [14] dan sampai taraf tertentu juga oleh kaum Neo-Platonis Muslim setelah Al-Kindi.
Penolakan itu diwujdukan al-Kindi melalui karya agungnya, Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang filsafat pertama) yaitu: pertama ia mencoba menyanggah keabadian jasad setelah mengatakan bahwa hanya jasadlah yang punya “genus” dan “spesies”,
sementara yang abadi tidak memiliki subyek maupun prediket, agen maupun
“spesies”. Sesuatu yang abadi tidak mempunyai genus, lalu melalui
penegasannya al-Kindi mengatakan bahwa “karena jasad memiliki genus dan
spesies, sementara yang abadi tidak punya genus, maka jasad tidaklah
abadi”. Setelah itu, ia membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah
terbatas dan karena itu jasad alam semesta diciptakan.
Dalam buku Al-Kindi : The Philosopher of the Arab, Geoerge N. Atigeh, mengemukakan argumen Al-Kindi sebagai berikut :
Sekarang,
jika kita mengambil sebagian dari jasad yang disebut tidak terbatas,
maka sisanya bias terbatas dan dan keseluruhannya tidak, atau sisanya
terbatas dan keseluruhannya juga tak terbatas. Jika keseluruhannya itu
terbatas dan kemudian kita tambahkan padanya apa yang telah terambil,
hasilnya akan menjadi jasad yang sama seperti sebelumnya, yakni yasad
yang tak terbatas. Hal tersebut akan diimplikasikan bahwa yang tak
terbatas adalah lebih besar dari yang tak terbatas, dan itu adalah
rancu. Dan ini juga secara tidak langsung akan berarti bahwa seluruhnya
itu identik dengan bagian, hal mana adalah kontradiktif. Karena itu
sebuah jasad yang actual haruslah terbatas secara niscaya. Alam semesta
betul-betul ada (actual), karenanya ia harus terbatas, dalam arti bahwa
ia dicipta. [15]
Setelah
membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah terbatas dan diciptakan,
Al-Kindi lalu mendemontrasikan penciptaan waktu dan gerak yang merupakan
dua hal yang niscaya tidak dapat dipisahkan dari alam semesta. “Karena
jasad alam semesta” telah dibuktikan terbatas, gerak dan waktu, sebagai
dua hal yang harus bersamaan (concomintants), haruslah juga terbatas”.Dalam menolak keabadian waktu, ia menegaskan:
Jika
“masa lalu” tanpa sebuah permulaan itu mungkin, ia tidak bias sampai
pada “saat ini”. Kaena hal tersebut akan mengatakan secara tidak
langsung bahwa yang tidak terbatas tidak bia menjadi actual, karena yang
tidak terbatas tidak bias “dilintasi” dan mengatakan bahwa yang tidak
terbatas tidak bias “dilintasi”. Karena itu, waktu adalah terbatas dan
diciptakan.[16]
Penganggahan yang demikian gigih di ketengahkan untuk membangun basis yang meyakini bahwa alam semesta diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo). Ia mengatakan “Tuhan itu Esa, pencipta dari tiada (al-mubdi’)
yang mempertahankan atau memelihara keberadaan segala sesuatu yang
telah ia ciptakan dari tiada”. Setelah menyanggah segala kemungkinan
abadinya alam semesta dari sudut jasad, waktu dan gerak, dan menegakkan
kepercayaannya pada penciptaan dari tiada, ia menyimpulkan bahwa alam
semesta dicipta dalam waktu (muhdats).
Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas sebagai pendahuluan, mencoba
menunjukkan bahwa alam semesta, karena diciptakan, haruslah mempunyai
seorang pencipta, [17] Al-Kindi mengetengahkan empat argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu :
(1) Argumen
pertama, bersandar pada premis bahwa alam semesta adalah terbatas dan
diciptakan dalam waktu. Yang ditunjukkan bahwa alam semesta adalah
terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak, yang berarti bahwa ia
haruslah diciptakan, yaitu menurut hukum kausalitas.
(2) Argumen
kedua, didasarkan pada ide Keesaan Tuhan, menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang tersusun dan beragam tergantung secara mutlak pada Keesaan
Tuhan, adalah sebab terakhir dari setiap obyek inderawi memancar, dan ia
yang membawa setiap obyek tersebut menjadi wujud.
(3) Argumen
ketiga, pada dasarnya bersandar pada ide bahwa sesuatutidak bia secara
logika menjadi penyebab bagi dirinya ; dengan penyangkalan empat yang
menjadi sebab bagi dirinya sendiri :
a) Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya juga tiada.
b) Sesuatu ungkin tidak ada tapi esensinya ada.
c) Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada.
d) Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada.
(4) Argumen keempat, yang bersandar pada argument a novitate mundi (dalil al-huduts), didasarkan kepada analogi antara mikrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos (alam semesta).
“Sebagaimana
mekanisme tubuh manusia yang teratur dan mulus mengisyaratkan pada
adanya seorang administrator cerdas yang tak nampak, yang disebut jiwa,
demikian juga mekanisme alam semesta yang teratur dan serasi yang
mengisyaratkan adanya seorang administrator gaib yang maha gaib, yaitu :
Tuhan.[18]
b. Dalil Kemungkinan (Dalil Al-Imkan)
Sementara argumen pertama menekankan temporalitas dan eo ipso, penciptaan alam semesta, argumen kita kali ini, yakni a contingenti mundi, terfokus pada argumen dari kontingensi atau memungkinkan,[19]
dari mana adanya wujud niscaya Tuhan dapat secara logis disimpulkan.
Maksudnya : “Argumen ari kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang
mungkin tidak bias dengan sendirinya – karena kontingensi berarti
menggantung falam keseimbangan antara ada dan tiada karena itu (ia)
membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keseimbangan tersebut ke
arah yang ada. [20]
Dan
penyajian argumen tentang adanya Tuhan, itu memerlukan pemahaman dengan
melalui antologi dan anlisis kedalam penilaian-penilaian tertentu,
yaitu berupa tiga macam pemilihan menguraikan tentang wujud :
a). Pemilihan antara esensiaton Quiditas
(makiyah-makiyah dan eksistensi wujud).Yang dimaksud esensi adalah
“Sesuatu sebagaimana adanya” (it is what it is), sementara eksistensi
adalah pengejawantahannya dalam dunia lahiriah (ada realitas dari
sesuatu itu) yang merupakan kebenaran di dalamnya. Dan ada esensinya
yakni sesuatu dengan mana “ia menjadi apa adanya” dan ada wjud
aktualnya.
Nampaknya
eksistensi itu – meskipun sebagai tambahan pada esensi-lebih prinsipil
ari pada esensi sendiri, misalnya : Meskipun eksistensi sesuatu itu
ditambahkan pada esensinya, namun eksistensilah yang memberi tiap-tiap
esensi atau realitasnya, dan karena itu ia lebih prinsipil. Esensi
sesuatu itu dalam kenyataannya tak lebih dari batasan ontologisnya yang
diabstraksi oleh pikirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar