Sabtu, 19 September 2015

Perspektif Tentang Tuhan Dalam Argumen Filsafat Ketuhanan. (Filsafat Metafisika).



Teologi metafisik merupakan wilayah kajian metafisika yang membicarakan tentang Tuhan. Tuhan sebagai obyek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua obyek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indera. Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu memandang Tuhan sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami akal.
Dari hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, moral, Henelogical argument dan ini sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat dibanding dari pendekatan agama maupun ilmu di atas. Ilmu terbatas pada pembuatan deskripsi yang didasarkan atas pengalaman empirik sedangkan agama berangkat dari keyakinan terhadap satu dokrin.


  
Argumentasi Tentang Tuhan Dalam Perspektif Filsuf Barat
Seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan diatas tentang beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, moral, dan Henelogical argument, maka filsuf Barat dalam melakukan pembuktian menuju Tuhan memakai pendekatan tersebut. Adapun filsuf Barat yang melakukan pembuktian tentang Tuhan sebagai berikut:

a.Via Ontologis Anselmus
Pembuktian ini diperkenalkan oleh Anselmus (1033-1109) untuk memenuhi permintaan seseorang biarawan untuk menyusun argumen yang membuktikan adanya Tuhan atas dasar rasio dan tidak atas dasar kitab suci. Memenuhi permintaan ini, Anselm menyusun argumen yang terkenal dengan sebutan “argumen ontologi”.  Secara kongkrit ajaran Anselmus Van Canterburi tentang kepercayaan dan akal telah dipergunakan sewaktu ia mengemukakan pembuktiannya tentang adanya Tuhan. Anselmus beranggapan untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Anselmus menginginkan kepercayaan atau keyakinan yang ditimbulkan oleh agama tumbuh menjadi pengertian dalam sebuah landasan keilmuan. Untuk memperoleh pendasaran epistemologis mengenai kepercayaan (intelectus Fidei) ini, Anselmus mulai dengan satu pokok pangkal, yaitu bahwa bagi setiap orang Tuhan itu berarti Yang Maha Tinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Menurut Anselmus yang Maha Besar (yang Maha Tinggi) dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan itu mustahil hanya terdapat di dalam alam pikiran saja. Sebab andai kata demikian halnya, sudah barang tentu dapat dipikirkan pula bahwa yang Maha Besar itu juga terdapat di dalam alam kenyataan, hingga dengan demikian yang Maha Besar itu makin menjadi yang Terbesar. Jadi tidak boleh tidak yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu harus ada pula di dalam kenyataan. Dari hal inilah titik tolak argumen Anselmus melalui jalan ontologis untuk menuju Tuhan.
Menurut Anselmus suatu pernyataan adalah jelas dari dirinya kalalu predikatnya sudah tercakup dalam subyek (pernyataan analitis), apalagi untuk pernyataan yang predikatnya bertepatan dengan subyek (pernyataan identik). Dalam pernyataan Allah itu Ada, subyeknya: Allah atau Eksistensi Substansial Ilahi, sudah memuat predikat Ada, karena di situ termuat totalitas kesempurnaan-kesempurnaan; Tidak seorangpun menyangkal bahwa Eksistensi Tuhan sungguh-sungguh identik dengan essensi-Nya, bahkan lebih lagi eksistensi itu adalah secara formal adalah essensinya. Jadi nampaknya pernyataan Allah itu Ada, bagi yang mengerti artinya perkataan itu mempunyai kejelasan langsung yang sama dengan pernyataan ini, Kuadrat itu mempunyai empat sudut atau lingkarang itu bulat. Hanya saja essensi Tuhan, pada diri-Nya sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita. Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap  sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita, Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap tinggal tidak jelas secara langsung. Untuk menunjukkannya, kita memerlukan suatu perantaraan, suatu proses rasional.[1] 

b.Via Kosmologi
Albertus Magnus (1193-1280) juga menolak argumen ontologi Anselmus dan sebagai gantinya ia mengajukan argumen kosmologi. Secara kongkrit, argumen ini mengatakan bahwa pembuktian ini pada dasarnya diperoleh mlalui observasi langsung terhadap alam semesta. Pembuktian ini sangat beragam, baik segi pendekatan maupun data-data yang diolah. Tetapi yang jelas pembuktian ini berangkat dari problematika yang terjadi di alam semesta, baik keteraturan, kejadian, peristiwa yang berlangsung di alam, sesungguhnya bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi ada yang mengatur. Pada akhirnya argumen ini sampai pada kesimpulan puncak bahwa yang mengatur itu adalah Tuhan Yang Maha pengatur.
Via kosmologis ini pertama kali dicetuskan oleh Plato dengan melakukan pembuktian adanya tuhan berdasarkan dua macam gerakan yang ada di dunia ini. Yaitu gerakan asli dan gerakan yang digerakan. Gerakan asli hanya bisa dilakukan oleh wujud yang hidup, sedangkan gerakan yang digerakan tergantung pada gerakan dari wujud yang hidup. Plato menyatakan bahwa seluruh gerak alam semesta ini secara mutlak disebabkan oleh aktivitas sesuatu yang berjiwa. Wujud yang berjiwa inilah yang mengatur dan memelihara, sehingga disebut Maha pemelihara dan bersifat Maha bijaksana. Wujud yang hidup itu adalah Tuhan.
Pembuktian Aristoteles secara Kosmologis tentang adanya Tuhan, sebagaimana dalam karyanya Metaphysics adalah bahwa Tuhan dipandang sebagai penggerak pertama. Teori ini pada dasarnya berpangkal dari pemikirannya mengenai Hylemorphism, yaitu  materi (hyle) dan  bentuk (Morphe). Materi bersifat potensial, yakni mempunyai kemungkinan untuk berubah-ubah. Sedangkan bentuk bersifat aktual, tetap, tidak berubah-ubah dan yang memberi gerak pada materi. Keduanya  dihubungkan dengan gerak. Adanya gerak karena adanya  penggerak pertama yang tidak bergerak dan merupakan wujud yang tidak digerakkan. Semua tergantung dari diri-Nya, maka ia pastilah Tuhan.[2]

c. Via Teleologi
Pembuktian teolologis merupakan pembuktian yang lebih spesifik dari pembuktian kosmologis. Pembuktian ini pada dasarnya berangkat dari kenyataan tentang adanya aturan-aturan yang terdapat dalam alam semesta yang tertib, rapi dan bertujuan. Dengan demikian, secara sederhana, pembuktian ini beranggapan adalah: 1). Serba teraturnya alam memiliki tujuan, 2). Serba teraturnya dan keharmonisan alam ini tidaklah oleh kemampuan alam itu sendiri, 3) Di balik alam ini ada sebab yang maha bijak.
Apa yang bisa dicapai oleh pembuktian ini hanyalah adanya arsitek alam yang dibatasi pada adanya persediaan materi alam, dan bukan adanya pencipta alam dimana segala sesuatunya tunduk kepadanya. Berangkat dari realitas tersebut di atas, maka dengan memperhatikan setiap susunan alam semesta yang sangat tertib dan bertujuan dapat kita pastikan bahwa terdapat suatu zat yang Maha pengatur dan Pemelihara, sekaligus menjadi tempat tujuan dari alam semesta.[3] Bukti teologis ini dianggap oleh para teolog maupun filosof sebagai bukti yang cukup kuat diantara bukti-bukti klasik lainnya.[4]

d. Via Moral
Pembuktian moral mengenai adanya Tuhan merupakan pembuktian yang paling sahih dan dapat dipertanggung jawabkan secara rasional-intelektual diantara bukti-bukti lainnya tentang adanya Tuhan. Pembuktian moral ini pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant yang merasakan bahwa pembuktian logis tentang Tuhan berdasarkan pada fakta kosmologis tidak dapat membawa pada kesimpulan yang cukup valid bahwa Tuhan itu ada. Itulah kritikan Kant tentang pembuktian Kosmologis. Untuk itu, Kant memberikan solusi melalui pembuktian moral. Menurut Kant perasaan manusialah yang dapat membuktikan dengan memuaskan tentang adanya Tuhan.
Selanjutnya, Kant memberikan penjelasan yang sistematis mengenai akal teoritis dan akal Praktis. Menurut Kant ada dua cara akal berhubungan dengan obyeknya. Pertama, akal mampu menangkap objek luar diri. Ini adalah akal teoritik. Kedua, akal dapat menciptakan konsep atau ide menjadi riel. Ini adalah akal praktis yang fungsinya mengadakan pilihan-pilihan moral dan merealisasikannya sesuai aturan-aturan moral yang ditetapkan oleh dirinya sendiri.[5] Akal praktis atau the will of the rational being bertujuan mencapai summum bonum, yakni suatu kebaikan yang sempurna yang meliputi kabajikan dan kebahagiaan. Menurut Kant, Summum bonum adalah tujuan akhir yang ditetapkan sendiri oleh akal secara a priori, dan untuk mencapai itu manusia harus tunduk kepada moral. Setiap orang menyadari dirinya benar-benar terikat oleh aturan-aturan moral.[6]
Aturan-aturan moral itu menuntut terpenuhinya summum bonum, dan hanya Tuhan saja yang bisa menjamin terpenuhinya ini dan itu pun tidak terjadi dalam kahidupan sekarang ini melainkan dalam kahidupan setelah sekarang ini. Oleh sebab itu, Tuhan pastilah ada. Tuntutan moral akan kehidupan bahagia membawa kita kepada keyakinan akan adanya eksistensi yang menjadi sebab bisa terpenuhinya tuntutan moral ini. Atau dengan kata lain, tuntutan moral bagi terwujudnya summum bonum memastikan adanya Tuhan sebagai Author atau Being yang mewujudkan summum bonum. Kesadaran bahwa Tuhan ini bersifat immanen (fitrah diri) yang berbeda di dalam kesadaran moral dan ini merupakan bukti yang cukup akan adanya Tuhan. [7]
Dengan demikian, pembuktian moral secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut : bahwa manusia memiliki perasaan moral yang telah tertanam dalam jiwanya sejak ia dilahirkan. Manusia merasa mempunyai kewajiban untuk menjauhi, perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Perintah yang terdapat di sanubarinya ini bersifat mutlak dan universal karena perintah ini dirasakan oleh seluruh manusia, sehingga adanya kebajikan itu bersifat universal. Adanya perasaan universal ini membuat kita akan mampu melakukan ataupun menjauhi sesuatu yang baik dan buruk. Adanya perasaan ini membuat manusia melakukan kebajikan karena adanya zat yang akan memberikan balasan. Zat yang memberikan balasan inilah yang disebut Tuhan.

Via derajat kesempurnaan Thomas Aquinas
Pembuktian mengenai adanya Tuhan yang dilontarkan Thomas Aquinas bisa disebut juga Henological Argument, sebenarnya merupakan kritikan Thomas Aquinas terhadap gagasan Santo Anselmus. Pandangan Anselmus bagi Thomas Aquinas tanpa ragu-ragu ditolaknya dan mengkritik pembuktian ontologis dalam Proslogion sebagaimana dipahaminya. Thomas Aquinas tidak menerima bahwa hanya dari pengertian tentang ada, yang Maha Tinggi atau dari yang Tertinggi yang dapat dipikirkan.[8] Kritik Thomas Aquinas terhadap pembuktian ontologis Anselmus meliputi tiga hal :
a.    Santo Thomas Aquinas menyanggah ekuivalensi antara konsep tentang Allah yang tertinggi yang dapat dipikirkan: ”Barangkali orang yang mendengar kata Tuhan, dia sama sekali tidak membayangkan suatu ada yang sedemikian sehingga yang lebih besar dari pada itu tidak dapat dibayangkan lagi”.
b.    Eksistensi Tuhan, yang jelas dirinya sendiri tidak jelas lagi bagi kita yang tidak merasakan essensi-Nya. Kita mengetahui jawaban tersebut. Jawaban itu ditujukan lebih-lebih bagi mereka yang melihat adanya suatu pernyataan yang secara langsung jelas, dalam putusan ini “Tuhan Ada” dan bukannya ditujukan kepada Anselmus, yang mengakui kejelasan ini lewat suatu penalaran, tetapi karena penalaran ini tidak mempunyai tujuan lain selain untuk membuktikan adanya suatu evidensi yang tersembunyi dalam bahasa, maka kritik Thomas Aquinas pun mengena untuk membuktikan Tuhan secara ontologis versi Anselmus.
c.    Akhirnya, jawaban yang menjadi klasik dan seperti yang pertama menyanggah Anselmus. Marilah kita setujui bahwa Tuhan dipahami sebagai yang tertinggi yang dapat dipikirkan. Dari fakta bahwa saya memikirkan ini ternyata bahwa yang tertinggi dapat dipikirkan itu berada dalam pemikiran saya, tetapi bukan berarti bahwa ia ada dalam realitas. Pertama-tama harauslah dibuktikan bahwa obyek yang demikian itu yang lebih besar daripada itu tak mungkin dapat dibayangkan.[9]
Pembuktian mengenai adanya Tuhan yang dilontarkan Thomas Aquinas bisa disebut juga Henological Argument. Pemikiran Aquinas tentang Tuhan merupakan pusat dari hampir seluruh pemikirannya. Hal ini didasarkan atas keyakinannya bahwa Tuhan adalah awal dan akhir segala kebijakan. Semua realitas itu dibimbing Tuhan. Tanpa bimbingan Tuhan manusia tidak mengetahui apa-apa. Aquinas mendasarkan pemikirannya pada kepastian adanya Tuhan. Keberadaan Tuhan itu, menurutnya dapat diketahui oleh akal. Untuk membuktikan pendapatnya itu, ia menunujukkan lima argumen sebagai berikut: [10]
Pertama argumen gerak. Argumen ini diangkat dari sifat alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya yang selalu bergerak. Setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh  sesuatu yang lain. Sebab tidak mungkin suatu potensialitas bergerak keaktualitas tanpa ada penyebabnya; dan penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri. Kemudian, timbul persoalan bila demikian berarti penggerak itupun memerlukan penggerak di luar dirinya. Akhirnya akan terdapat penggerak berangkai yang tidak terbatas, yang konsekwensinya berarti tidak ada penggerak. Menjawab persoalan ini Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka harus ada penggerak pertama, yaitu penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, itulah Tuhan. Kesimpulan ini nampaknya sama persis dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles.[11]
Kedua argumen sebab yang mencukupi. Di dunia ini tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri. Karena bila demikian ia mesti menjadi lebih dulu dari dirinya. Sedangkan itu tidak mungkin. Dalam kenyataannya yang adalah adalah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh sebab berurutan secara teratur : Sebab pertama menghasilkan musabab, dan musabab ini menghasilkan musabab yang lain, dan seterusnya. Membuang sebab sama dengan membuang musabab. Artinya, menurut Aquinas bila tidak ada sebab pertama tentu tidak akan ada rangkaian sebab tersebut, dan itu berarti tidak akan ada apa-apa. Sedangkan kenyataannya; “apa-apa itu ada”. Berarti memang ada sebab pertama, ialah Tuhan.
Ketiga argumen kemungkinan dan keharusan. Adanya alam ini bersifat mungkin, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya juga bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan itu diambil dari kenyataan bahwa alam dan isinya ini dimulai dari tisdak ada, lalu muncul, berkembang, rusak dan menghilang. Konsekwensinya alam ini tidak mungkin selalu ada, karena ada dan tidak ada tidak mungkin menjadi sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Kenyataannya alam dan isinya itu ada, Berarti harus ada sesuatu yang ada, karena tidak mungkin muncul yang ada itu apabila ada pertama tidak ada. Ada pertama itu harus ada karena alam dan isinya itu kenyataannya ada. Yang ada pertama itu Dialah Tuhan.
Keempat argumen tingkatan. Isi alam ini memiliki tingkatan, dalam hal keindahan, kebaikan, dan sebagainya. Misalnya ada yang indah, lebih indah, dan terindah. Tinggi, lebih tinggi, dan tertinggi atau maha tinggi. Tingkatan tertinggi menjadi sebab adanya tindakan di bawahnya. Begitu juga tentang ada. Tuhan memiliki sifat ada yang tertinggi. “Ada” yang ada di bawahnya disebabkan oleh ada yang tertinggi tersebut. 
Kelima argumen keteraturan alam. Isi alam dari jenis yang tidak berakal, kenyataannya dapat bergerak menuju tujuan tertentu secara teratur, dan pada umumnya berhasil mencapai tujuannya. Padahal mereka itu tidak mempunyai pengetahuan  tentang tujuan tersebut. Berarti ada sesuatu di luar dirinya yang mengatur itu semua. Karena sesuatu yang tidak berakal tidak mungkin dapat mencapai tujuan, tanpa ada yang mengaturnya. Sesuatu yang mengatur alam dan isinya itu harus ada, harus berakal, dan harus berpengetahuan. Itulah Tuhan. [12]

Argumen Tentang Tuhan Dalam Perspektif Filsuf Muslim
Pembuktian adanya Tuhan tidak hanya menjadi perbincangan para filosof Barat, tetapi juga menjadi pembicaraan para filosof dan teolog Muslim, seperti yang dilakukan oleh para filosof dan teolog Muslim yang menjadi pengikut Mu’tazilah maupun al-Asy’ariyah. Pembuktian-pembuktian tersebut dibedakan menjadi  3 dalil, yaitu :
Dalil Kebaharuan (Dalil al-Huduts)Argument a novitate mundi (dalil al-huduts), yang pada dasarnya menekankan kesementaraan alam semesta, sebenarnya telah digunakan secara populer oleh mutakallimun (teolog-teolog Muslim) ketimbang para filosof muslim (falasifah). Dan “prosedur umum yang digunakan para mutakallimun dalam membuktikan temporalitas alam semesta, “ kata Majid Fakhry, “ialah dengan cara menunjukkan bahwa alam yang mereka definisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, itu terdiri dari atom-atom dan aksiden-aksiden. Aksiden-aksiden tersebut dikenal  dengan ‘ardl yaitu bahwa semua benda mengalami perubahan keadaan yang bermacam-macam, baik yang berupa bentuk, warna, gerakan, bergantian, surut dan perubahan-perubahan lainnya. [13]
Setiap aksiden hanya bisa bertahan sesaat, dan harus dicipta secara terus menerus oleh Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Menurut Al-Kindi, yang mana beliau seorang filosof yang berorientasi teologi, menolak dengan tegas konsep apapun yang mengimplikasikan keabadian alam semesta, yang dengan lekat di pertahankan oleh Aristoteles dan para pengikutnya [14] dan sampai taraf tertentu juga oleh kaum Neo-Platonis Muslim setelah Al-Kindi.
Penolakan itu diwujdukan al-Kindi melalui karya agungnya, Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang filsafat pertama) yaitu: pertama ia mencoba menyanggah keabadian jasad setelah mengatakan bahwa hanya jasadlah yang punya “genus” dan “spesies”, sementara yang abadi tidak memiliki subyek maupun prediket, agen maupun “spesies”. Sesuatu yang abadi tidak mempunyai genus, lalu melalui penegasannya al-Kindi mengatakan bahwa “karena jasad memiliki genus dan spesies, sementara yang abadi tidak punya genus, maka jasad tidaklah abadi”. Setelah itu, ia membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah terbatas dan karena itu jasad alam semesta diciptakan.
Dalam buku Al-Kindi : The Philosopher of the Arab, Geoerge N. Atigeh, mengemukakan argumen Al-Kindi sebagai berikut :
            Sekarang, jika kita mengambil sebagian dari jasad yang disebut tidak terbatas, maka sisanya bias terbatas dan dan keseluruhannya tidak, atau sisanya terbatas dan keseluruhannya juga tak terbatas. Jika keseluruhannya itu terbatas dan kemudian kita tambahkan padanya apa yang telah terambil, hasilnya akan menjadi jasad yang sama seperti sebelumnya, yakni yasad yang tak terbatas. Hal tersebut akan diimplikasikan bahwa yang tak terbatas adalah lebih besar dari yang tak terbatas, dan itu adalah rancu. Dan ini juga secara tidak langsung akan berarti bahwa seluruhnya itu identik dengan bagian, hal mana adalah kontradiktif. Karena itu sebuah jasad yang actual haruslah terbatas secara niscaya. Alam semesta betul-betul ada (actual), karenanya ia harus terbatas, dalam arti bahwa ia dicipta. [15]
           
Setelah membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah terbatas dan diciptakan, Al-Kindi lalu mendemontrasikan penciptaan waktu dan gerak yang merupakan dua hal yang niscaya tidak dapat dipisahkan dari alam semesta. “Karena jasad alam semesta” telah dibuktikan terbatas, gerak dan waktu, sebagai dua hal yang harus bersamaan (concomintants), haruslah juga terbatas”.Dalam menolak keabadian waktu, ia menegaskan:
Jika “masa lalu” tanpa sebuah permulaan itu mungkin, ia tidak bias sampai pada “saat ini”. Kaena hal tersebut akan mengatakan secara tidak langsung bahwa yang tidak terbatas tidak bia menjadi actual, karena yang tidak terbatas tidak bias “dilintasi” dan mengatakan bahwa yang tidak terbatas tidak bias “dilintasi”. Karena itu, waktu adalah terbatas dan diciptakan.[16]

Penganggahan yang demikian gigih di ketengahkan untuk membangun basis yang meyakini bahwa alam semesta diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo). Ia mengatakan “Tuhan itu Esa, pencipta dari tiada (al-mubdi’) yang mempertahankan atau memelihara keberadaan segala sesuatu yang telah ia ciptakan dari tiada”. Setelah menyanggah segala kemungkinan abadinya alam semesta dari sudut jasad, waktu dan gerak, dan menegakkan kepercayaannya pada penciptaan dari tiada, ia menyimpulkan bahwa alam semesta dicipta dalam waktu (muhdats).
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas sebagai pendahuluan, mencoba menunjukkan bahwa alam semesta, karena diciptakan, haruslah mempunyai seorang pencipta, [17] Al-Kindi mengetengahkan empat argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu :
(1)   Argumen pertama, bersandar pada premis bahwa alam semesta adalah terbatas dan diciptakan dalam waktu. Yang ditunjukkan bahwa alam semesta adalah terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak, yang berarti bahwa ia haruslah diciptakan, yaitu menurut hukum kausalitas.
(2)   Argumen kedua, didasarkan pada ide Keesaan Tuhan, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tersusun dan beragam tergantung secara mutlak pada Keesaan Tuhan, adalah sebab terakhir dari setiap obyek inderawi memancar, dan ia yang membawa setiap obyek tersebut menjadi wujud.
(3)   Argumen ketiga, pada dasarnya bersandar pada ide bahwa sesuatutidak bia secara logika menjadi penyebab bagi dirinya ; dengan penyangkalan empat yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri :
a)      Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya  juga tiada.
b)       Sesuatu ungkin tidak ada tapi esensinya ada.
c)       Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada.
d)      Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada.
(4)   Argumen keempat, yang bersandar pada argument a novitate mundi (dalil al-huduts), didasarkan kepada analogi antara mikrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos (alam semesta).
“Sebagaimana mekanisme tubuh manusia yang teratur dan mulus mengisyaratkan pada adanya seorang administrator cerdas yang tak nampak, yang disebut jiwa, demikian juga mekanisme alam semesta yang teratur dan serasi yang mengisyaratkan adanya seorang administrator gaib yang maha gaib, yaitu : Tuhan.[18]

b. Dalil Kemungkinan (Dalil Al-Imkan)
Sementara argumen pertama menekankan temporalitas dan eo ipso, penciptaan alam semesta, argumen kita kali ini, yakni a contingenti mundi, terfokus pada argumen dari kontingensi atau memungkinkan,[19] dari mana adanya wujud niscaya Tuhan dapat secara logis disimpulkan. Maksudnya : “Argumen ari kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang mungkin tidak bias dengan sendirinya – karena kontingensi berarti menggantung falam keseimbangan antara ada dan tiada karena itu (ia) membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keseimbangan tersebut ke arah yang ada. [20]
Dan penyajian argumen tentang adanya Tuhan, itu memerlukan pemahaman dengan melalui antologi dan anlisis kedalam penilaian-penilaian tertentu, yaitu berupa tiga macam pemilihan menguraikan  tentang wujud :
a). Pemilihan antara esensiaton Quiditas (makiyah-makiyah dan eksistensi wujud).Yang dimaksud esensi adalah “Sesuatu sebagaimana adanya” (it is what it is), sementara eksistensi adalah pengejawantahannya dalam dunia lahiriah (ada realitas dari sesuatu itu) yang merupakan kebenaran di dalamnya. Dan ada esensinya yakni sesuatu dengan mana “ia menjadi apa adanya” dan ada wjud aktualnya.
Nampaknya eksistensi itu – meskipun sebagai tambahan pada esensi-lebih prinsipil ari pada esensi sendiri, misalnya : Meskipun eksistensi sesuatu itu ditambahkan pada esensinya, namun eksistensilah yang memberi tiap-tiap esensi atau realitasnya, dan karena itu ia lebih prinsipil. Esensi sesuatu itu dalam kenyataannya tak lebih dari batasan ontologisnya yang diabstraksi oleh pikirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar