Kata Kunci: Illuminasi, Filsafat, Cahaya
Ilustrasi sederhana
diatas memang belum cukup untuk melukiskan filsafat Suhrawardi dalam karya
monumentalnya Hikmah al-Isyraq (Philosophy of Illmumination).
Tapi setidak-tidaknya bisa menjadi lentera untuk menyusuri belantara pemikiran
filosof Islam yang dijuluki Al-Maqtul (he who was killed)[1]
ini. Pada prinsipnya, grand design filsafat Suhrawardi adalah
terpancarnya Cahaya Ketuhanan (Nur al-Anwar) kepada manusia. Tentunya
pancaran cahaya al-khaliq pada makhluq-Nya tidak terjadi
secara tiba-tiba, melaikan melalui proses dan tahapan-tahapan tersendiri.
Inilah yang coba digambarkan Suhrawardi dalam filsafat illuminasinya.
Sebagaimana ia ungkapkan dalam “pengantar” Hikmah al-Isyraq[2]
bahwa buku ini memang memuat suatu penjelasan tentang hasil-hasil pengalaman
dan intuisi pribadinya dan lebih lanjut memaparkan pandangannya tentang
bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Bukan sembarang pengetahuan, tapi
pengetahuan hakiki (al-ulum al-haqiqiyah).
Filsafat illuminasi syaikh
al-isyraq (sebutan lain untuk Suhrawardi) ini, muncul atas kritiknya pada
kaum perepetetik pada masanya. Tidak seperti orang bijak terdahulu, Suhrawardi
percaya bahwa wacana filosofis adalah bagian penting dari jalan spiritual
seseorang. Ini sangat revolusioner mengingat kaum sufi biasanya menyangkal filsafat
rasionalistik – sebagaimana dicontohkan kaum perepatetik – yang, sebaliknya, ogah
pada sufisme.[3]
Bagi Suhrawardi, filsafat dan pengalaman mistik tidak bisa diceraikan. Filsafat
yang tidak berpuncak pada ekstase metafisik adalah spekulasi dan sia-sia. Begitu
juga pengalaman mistik yang tidak dilandasi pengkajian filsafat yang logis akan
menghadapi bahaya kehinaan dan ketersesatan.[4]
Untuk memahami karya
Suhrawardi, khususnya Hikmah a-Isyraq, bukan perkara gampang. Ungkapan
Suhrawardi bahwa “hanya mereka yang telah berpuasa selama 40 hari dan tidak
makan daging yang mampu memahami Hikmah al-Isyraq” mengindikasikan bahwa
untuk mengakses filsafat yang ia ditawarkan memang perlu “mengernyitkan dahi”.
Mengapa demikian? pertama, filsafat Suhrawardi tidak lain merupakan
konfigurasi berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan budaya yang terbentang
dibeberapa belahan dunia, dari Yunai, Persia, Spanyol dan Arab, berikut
pluralitas agamanya. So pasti agak sulit untuk memasuki alam pemikiran
Suhrawardi apabila tidak memahami filosof, budaya dan konstruk sosial yang
menjadi basis pemikirannya.
Annimarie Schimmel
menulis:
“Inspirasi Suhrawardi berasal dari
berbagai sumber. Dalam hal ini teologi al-Hallaj tidak bisa dilupakan dalam
konstruk pemikirannya. Faktanya, orang mengidentifikasi kesamaan dua ahli
mistik itu bukan hanya karena kematiannya yang sama-sama tragis akibat
kekejaman kekuasaan, namun juga “api Ketuhanan yang membakar jiwanya”, the
devine fire that devoured Suhrawardi’s soul. Suhrawardi menjadikan dirinya
sebagai penerus tradisi Iran dan Yunani kuno. Ia menyuguhkan kebijaksanaan (wisdom),
yang mana ia mentahbiskan dirinya sendiri sebagai representasi Nabi Idris
(Hernes dalam Istilah barat). Dan disepanjang filosof-filosof Yunani (yang
berkulminasi pada Plato) dan raja-raja Persia, aliran filsafat ini terus
ditransmisikan pada Bazayid Busthami, Kharaqani dan al-Hallaj. Usaha Suhrawardi
untuk meunifikasi trend tradisi teosofi pra-Islam membuat pemikirannya
sangat penting dan menarlk untuk dikaji oleh orang-orang yang mendalami sejarah
agama”.[5]
Ketiga, deskripsi Suhrawardi
cenderung metaforis dengan menggunakan narasi-narasi dan simbol-simbol menawan (beautiful
simbols) nan “aneh” (strange) seperti: cahaya, hewan, planet-planet,
malaikat atau dalam bentuk cerita, yang
acap kali sulit menemukan makna dibalik istilah-istilah metaforis itu.
Narasi-narasi mistik dan kisah-kisah simbolik itu, kata Schimmel, adalah sesuatu
yang sangat mempesona dalam karya-karya Suhrawardi. Ini tidak lain untuk
melukiskan perjalanan jiwa (the journey of the soul) anak manusia[7] untuk menemukan belahan
jiwanya yang “hilang”. Konon, jiwa manusia (ter)dibelah menjadi dua bagian:
yang satu berada di Surga sedangkan yang lain terpenjara dalam tubuh manusia
sendiri. Karena itulah, mengapa jiwa ini tidak bisa bahagia tinggal di dunia,
sebab ia selalu mencari dan mencari belahan jiwanya yang lain sehingga bisa
sempurna dan utuh kembali seperti semula.[8]
B. Riwayat Hidup Sang Maestro
Suhrawardi,
lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardi al-Maqtul lahir
di kota kecil Suhraward di Persia pada 549 H/1154 M. Pendidikannya dimulai di
Maraghah, dengan belajar fiqh dan teologi pada Majd al-Din al-Jilli. Kemudian
Suhrawardi mengembara ke Isfahan untuk mendalami studinya pada Zahir al-Din
Qari dan Fakhr al-Din al-Mardini, dimana orang yang disebut terakhir ini
disinyalir sebagai guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu, ia juga
belajar logika pada Zahiq al-Farsi yang mengajarkan al-Bashair
al-Nashriyyah, kitab karya Umar ibn Sahlan al-Sawi, ahli logika terkenal
sekaligus pemikir illuminasionis awal dalam Islam.[9]
Kemudian
Suhrawardi melanjutnya pengembaraannya ke pelosok Persia untuk menemui
guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Akhirnya ia pergi ke Aleppo untuk
berguru kepada Syafir Iftikar al-Din. Disinilah ia kenal baik dan mengabdi pada
pangeran Malik al-Zahir Syah, gubernur Aleppo yang juga putera mahkota Sultan
Shalah al-Din al-Ayyubi, sosok pahlawan perang salib (the hero of the
Crusades). Suhrawardi berhasil mengambil hati sang pangeran dengan
penyampaian filsafat barunya. Tak pelak lagi, nama Suhrawardi yang semakin
meroket di Istana menimbulkan kecemburuan, khususnya dilakangan petinggi
kerajaan (baca: fuqaha dan teolog). Gesekan-gesekan kecil dan perang dingin
antara Suhrawardi dan para fuqaha plus teolog pun mulai mencuat
kepermukaan.
Untuk menfasilitasi
persinggungan ini, Malik al-Zhahir mendudukkan Suhrawardi dengan para fuqaha
dan teolog tersebut dalam rangka memperdebatkan pemikiran-pemikiran Suhrawardi.
Dalam perdebatan tersebut Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi
elegannya, yang justeru semakin memperat hubungannya dengan sang pangeran.
Kontan saja, kondisi ini semakin membuat geram lawan-lawannya (walaupun
Suhrawardi tidak menganggap mereka lawan). Dan mereka kemudian menuduh dan
melontarkan isu-isu miring bahwa Suhrawardi termasuk golongan “zindig”
(anti agama), merusak agama, dan menyesatkan pangeran muda. Namun begitu,
validitas tuduhan dan isu ini masih sangat kontroversial.[10]
Alhasil, mereka
mengirim surat kepada Sultan bahwa ajaran-ajaran dan pemikiran Suhrawardi
sangat berbahaya, dan (alasan terpenting) bisa menyesatkan akidah pangeran
muda, Malik al-Zhahir. Sultan sendiri yang terprovokasi dengan propaganda para
fuqaha dan teolog segera memerintahkan putranya untuk menghukum mati filosof
muda itu. Maka berakhirlah transformasi pemikiran gemilang Suhrawardi, karena
ia harus mengakhiri hidupnya ditiang ganungan dalam usia yang masih belia, 38
tahun.[11]
Sangat mengenaskan!
Suhrawardi memang
telah tiada. Namun gagasan-gagasan briliannya telah dan terus menjadi ornamen
filsafat dunia. Dalam hal ini Sayyed Hossein Nasr menyatakan:
Although he was put to death at young
age in Aleppo on the charge of heresy (in reality he died because of
entanglement in the religio-political struggles), before his death he founded a
new school of philosophy called al-isyraq or “illumination”. Based not
only on ratiocination, but also an illumination or intellectual vison, this
school sought to integrate the wisdom of ancient Persia and Greece into Islamic
gnosis (ma’rifah) on the basis of erlier philosophy of Ibn Sina, which
Suhrawardi considered to be necessary for the training of the mind but not
sufficient, since authentic philosophy also requires the purification of the
mind and the heart, a prerequisite for reception of illumination.[12]
Meskipun
ia meninggal dalam usia belia akibat tuduhan melakukan bid’ah
(realitasnya ia meninggal akibat konspirasi agama dan politik), sebelum
kematiannya Suhrawardi menemukan sekolah filsafat baru yang disebut al-isyraq
atau “illuminasi”. Karena tidak hanya didasarkan pada kekuatan rasio, namun
juga kemampuan illuminasi atau “visi intelektual”, sebenarnya filsafat ini mencoba untuk mengintegrasikan
kebijaksanaan (wisdom) Persia dan Yunani kuno kedalam gnosis Islam
dengan berpijak pada konsep filsafat Ibnu Sina yang muncul sebelumnya.
Suhrawardi melihat adanya upaya untuk melatih jiwa (mind) namun,
sayangnya, tidak berhasil. Sebab filsafat yang otentik, bagi Suhrawardi, juga
membutuhkan penyucian jiwa dan hati, sebagai prasyarat untuk mencapai
illuminasi”.
Mengenai
kematian “tragis” yang harus Suhrawardi alami, dalam hemat saya, justeru
semakin melambungkan namanya diantara para filosof-filsof besar muslim yang
lain. Dalam bahasa yang mungkin agak kaku, bisa jadi pemikiran Suhrawardi tidak
akan membumi seperti sekarang ini bila ia tidak meninggal dengan cara diatas.
Sebab, orang yang sama sekali tidak mendengar nama Suhrawardi kemudian menjadi
bertanya-tanya: kenapa Suhrawardi harus dihukum mati? Seperti apa sih
pemikirannya? Bagaimana pemikiran Suhrawardi ko’ bisa “divonis” sesat?
Dari sini masyarakat dunia terus penasaran dan ingin mempelajari pemikiran
tokoh yang kemudian dikenal dengan Syaikh al-Isyraq ini. Fenomena
demikian sebenarnya sudah dialami pemikir-pemikir yang lain. Sebut saja
Socrates, A-Hallaj atau (di Indonesia) Syeikh Siti Jenar yang meninggal dengan
cara yang hampir sama. Dan, seperti halnya Suhrawardi, nama mereka pun semakin
populer saja.
C. Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah
filosof yang sangat produktif. Kendati usianya sangat pendek, namun kata Sayyed
Hossein Nasr,[13] ada
pulahan buku yang telah ditulis Suhrawardi dalam bahasa Arab dan Persia, yang
meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan metode berbeda-beda. Menurut Mehdi
Aminrazavi penyebutan risalah-risalah ini untuk mempersaksikan perjalanan jiwa
menuju kesatuan dan kerinduan inhern manusia terhadap gnosis (ma’rifah). Sebab,
tanpa bantuan karya-karya ini, ajaran isyraqi tidak akan bisa sepenuhnya
dipahami.[14]
Selanjutnya,
Hossein Nasr mengklasifikasikan karya Suhrawardi menjadi lima kategori:[15]
o
Empat risalah besar
mengenai filsafat:[16]
-
al-Talwihat (Kitab Keintiman)
-
al-Muqawamat (Kitab Perlawanan)
-
al-Masy’ari wa
al-Mutharahat (Kitab Percakapan)
-
Hikmah al-Isyraq (Filsafat Illuminasi).
o
Karya-karya pendek,[17]
yang sebagian besar bersifat doktrinal, tetapi hendaknya dipandang sebagai
penjelasan lanjutan mengenai risalah-risalah doktrinal yang lebih besar, antara
lain:
-
Hayakil al-Nur (Tubuh yang Bersinar)
-
Alwah al-‘Imadiyah (Lembaran ‘Imaduddin)
-
Partaw-nama (Risalah tentang Wahyu)
-
Fi I’tiqad
al-Hukama’ (Tentang Keimanan Para Ahli)
-
Al-Lamahat (Kilatan Cahaya)
-
Yazdan-Syinakht (Pengetahuan Ilahi)
-
Bustan al-Qulub (Taman Hati)
o
Risalah-risalah yang
murni esoteris
-
‘Aql-i Surkh (Akal Merah)
-
Awaz-i-par-i-Jibra’il
(Pesona Sayap Jibril)
-
Al-Qissah al-Gurbah
al-Garbiyyah (Certita tentang Orang
Buangan Barat)
-
Lugat-i Muran (Bahasa Rayap)
-
Risalah fi Halah
al-Tufuliyyah (Risalah Keadaan Masa
Kanak-Kanak)
-
Ruzi ba Jama’ah-i
Suffiyan (Sehari Bersama Masyarakat Sufi)
-
Safir-i Simurg (Lagu Binatang Buas)
-
Risalah fi
al-Mi’raj (Risalah Perjalanan Malam)
o
Risalah yang bersifat
filosofis dan inisiatis
-
Terjemahan Risalah
al-Tayr (Risalah Burung) karya Ibn Sina dan komentar terhadap karyanya
dalam bahasa Persia al-Isyarat wa at-Tanbihat
-
Risalah fi Haqiqah
al-‘Isyq (Risalah tentang Realitas Cinta)
yang didasarkan pada karya Ibn Sina Risalah fi-’Isyq (Risalah Cinta)
o Tulisan-tulisan yang berisi shalat dan doa-doa, oleh
Syahrazuri disebut al-Waridat wa al-Taqdisat (Permohonan dan doa)
D. Makna Hikmah al-Isyraq
Kata Isyraqi merupakan kata yang multi arti. Ia dinamakan dengan ilmu huduri (knowedge by presence), yakni pencapaian pengetahuan tentang suatu obyek yang tanpa digambarkan didalam akal. Ia mempunyai obyek imanen yang menyebabkannya menjadi pengetahuan tanpa membutuhkan obyek transitif. Ia hadir dengan sendirinya melalui bimbingan intuitif Cahaya Ketuhanan. pencahayaan, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi.Ada juga yang mengartikan bahwa Isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal-hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat orang menderita.
Isyraq[18] sendiri dalam bahasa Arab berarti “pencahayaan”, dan masyriq berarti “timur”. Kesatuan antara “cahaya” dan “timur” dalam Hikmah al-Isyraq (the theosophy of the orient of light, dalam istilah S.H. Nasr) berkaitan dengan simbolisasi matahari yang terbit dari timur dan mencahayai segala sesuatu.[19] Dengan realitas mencahayai atau meneragi segala sesuatu, cahaya diidentifikasi dengan gnosis dan illuminasi. Dengan demikian, isyraqiyah adalah pengetahuan melalui pertolongan dimana manusia dapat menyesuaikan drinya di dunia wujud semsta tidak masalah dimanapun ia hidup secara geografis, dan akhirnya menyadari bahwa timur adalah tempat kediaman azali. Sementara bayangan kegelapan dan kesuraman hidup manusia ada di barat.Sementara dalam pandangan Hossein Ziai, filsafat illuminasi adalah konstruksi sistematis dan filosofis khas yang dirancang untuk menghindari inkonsistensi-inkonsistensi logis, epistimologis dan metafisis yang dirasakan oleh Suhrawardi dalam madzhab Perepatetik[20] pada waktu itu.[21] Tujuannya, masih menurut Ziai, untuk merumuskan jalan yang jelas menuju suatu kehidupan filosofis sekaligus merupakan sarana yang secara “ilmiah” lebih valid untuk meneliti sifat dan hakikat sesuatu serta wahana untuk mencapai kebahagiaan dan juga jalan untuk meraih kebijaksanaan yang lebih praktis yang dapat dan harus digunakan untuk mengabdi pada kekuasaan yang adil.[22]
E. Dibalik lahirnya Hikmah al-Isyraq
Memahami
latar belakang munculnya Hikmah al-Isyraq juga merupakan sesuatu yang
penting dalam rangka menghampiri konsep yang dibangun dalam filsafat ini.
Apalagi Hikmah al-Isyraq disebut-sebut sebagai kulminasi pemikiran
fislafat Suhrawardi. Konon, lahirnya Hikmah al-Isyraq disinyalir sebagai
respon Suhrawardi atas permintaan terus-menerus dari sahabat-sahabatnya. Bagi
Hossein Ziai, ada pernyataan yang tidak biasa dibuat oleh Suhrawardi diawal
pendahuluan Hikmah al-Isyraq, dan pernyataan itu tidak pernah diulangi
Suhrawardi dalam karya-karya yang lain. Setidak-tidaknya pernyataan diatas,
kata Ziai, bisa ditafsirkan dengan dua perspektif, yang tentunya memiliki
implikasi berbeda.[23] Suhrawardi menyatakan:
“Jika bukan
karena keharusan untuk memenuhi suatu kewajiban, suatu pesan yang telah muncul,
dan suatu kewajiban yang telah diberikan dari suatu ketidaktaatan yang akan
mengantarkan kepada jalan yang sesat, saya tidak pernah merasa wajib untuk
melangkah lebih jauh dan secara terbuka menyingkap filsafat illuminasi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar