Sabtu, 19 September 2015

Filsafat Illuminasi; Suhrawardi al-Maqtul

  
Kata Kunci: Illuminasi, Filsafat, Cahaya
Ilustrasi sederhana diatas memang belum cukup untuk melukiskan filsafat Suhrawardi dalam karya monumentalnya Hikmah al-Isyraq (Philosophy of Illmumination). Tapi setidak-tidaknya bisa menjadi lentera untuk menyusuri belantara pemikiran filosof Islam yang dijuluki Al-Maqtul (he who was killed)[1] ini. Pada prinsipnya, grand design filsafat Suhrawardi adalah terpancarnya Cahaya Ketuhanan (Nur al-Anwar) kepada manusia. Tentunya pancaran cahaya ­al-khaliq pada makhluq-Nya tidak terjadi secara tiba-tiba, melaikan melalui proses dan tahapan-tahapan tersendiri. Inilah yang coba digambarkan Suhrawardi dalam filsafat illuminasinya. Sebagaimana ia ungkapkan dalam “pengantar” Hikmah al-Isyraq[2] bahwa buku ini memang memuat suatu penjelasan tentang hasil-hasil pengalaman dan intuisi pribadinya dan lebih lanjut memaparkan pandangannya tentang bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Bukan sembarang pengetahuan, tapi pengetahuan hakiki (al-ulum al-haqiqiyah).
Filsafat illuminasi syaikh al-isyraq (sebutan lain untuk Suhrawardi) ini, muncul atas kritiknya pada kaum perepetetik pada masanya. Tidak seperti orang bijak terdahulu, Suhrawardi percaya bahwa wacana filosofis adalah bagian penting dari jalan spiritual seseorang. Ini sangat revolusioner mengingat kaum sufi biasanya menyangkal filsafat rasionalistik – sebagaimana dicontohkan kaum perepatetik – yang, sebaliknya, ogah pada sufisme.[3] Bagi Suhrawardi, filsafat dan pengalaman mistik tidak bisa diceraikan. Filsafat yang tidak berpuncak pada ekstase metafisik adalah spekulasi dan sia-sia. Begitu juga pengalaman mistik yang tidak dilandasi pengkajian filsafat yang logis akan menghadapi bahaya kehinaan dan ketersesatan.[4]     
Untuk memahami karya Suhrawardi, khususnya Hikmah a-Isyraq, bukan perkara gampang. Ungkapan Suhrawardi bahwa “hanya mereka yang telah berpuasa selama 40 hari dan tidak makan daging yang mampu memahami Hikmah al-Isyraq” mengindikasikan bahwa untuk mengakses filsafat yang ia ditawarkan memang perlu “mengernyitkan dahi”. Mengapa demikian? pertama, filsafat Suhrawardi tidak lain merupakan konfigurasi berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan budaya yang terbentang dibeberapa belahan dunia, dari Yunai, Persia, Spanyol dan Arab, berikut pluralitas agamanya. So pasti agak sulit untuk memasuki alam pemikiran Suhrawardi apabila tidak memahami filosof, budaya dan konstruk sosial yang menjadi basis pemikirannya.
Annimarie Schimmel menulis:
“Inspirasi Suhrawardi berasal dari berbagai sumber. Dalam hal ini teologi al-Hallaj tidak bisa dilupakan dalam konstruk pemikirannya. Faktanya, orang mengidentifikasi kesamaan dua ahli mistik itu bukan hanya karena kematiannya yang sama-sama tragis akibat kekejaman kekuasaan, namun juga “api Ketuhanan yang membakar jiwanya”, the devine fire that devoured Suhrawardi’s soul. Suhrawardi menjadikan dirinya sebagai penerus tradisi Iran dan Yunani kuno. Ia menyuguhkan kebijaksanaan (wisdom), yang mana ia mentahbiskan dirinya sendiri sebagai representasi Nabi Idris (Hernes dalam Istilah barat). Dan disepanjang filosof-filosof Yunani (yang berkulminasi pada Plato) dan raja-raja Persia, aliran filsafat ini terus ditransmisikan pada Bazayid Busthami, Kharaqani dan al-Hallaj. Usaha Suhrawardi untuk meunifikasi trend tradisi teosofi pra-Islam membuat pemikirannya sangat penting dan menarlk untuk dikaji oleh orang-orang yang mendalami sejarah agama”.[5]        
          

filsafat illuminasi Suhrawardi tidak hanya tergambarkan dalam Hikmah al-Isyraq, sebagai magnum opus Suhrawardi, melainkan berserakan pada karya-karyanya yang lain. Annimarie Schimmel menulis “ajaran-ajaran tentang filsafat cahaya Suhrawardi tercover dalam 50-an karyanya baik dalam buku-buku berbahasa Arab maupun Persia” (the teachings pertaining to the philosophy of light were laid down by Suhrawatdi in nearly fifty Arabic and Persian books).[6] Artinya, untuk mendalami filsafat illmuminasi secara holistik, seseorang dituntut untuk membaca karya-karya Suhrawardi yang lain.
Ketiga, deskripsi Suhrawardi cenderung metaforis dengan menggunakan narasi-narasi dan simbol-simbol menawan (beautiful simbols) nan “aneh” (strange) seperti: cahaya, hewan, planet-planet, malaikat  atau dalam bentuk cerita, yang acap kali sulit menemukan makna dibalik istilah-istilah metaforis itu. Narasi-narasi mistik dan kisah-kisah simbolik itu, kata Schimmel, adalah sesuatu yang sangat mempesona dalam karya-karya Suhrawardi. Ini tidak lain untuk melukiskan perjalanan jiwa (the journey of the soul) anak manusia[7] untuk menemukan belahan jiwanya yang “hilang”. Konon, jiwa manusia (ter)dibelah menjadi dua bagian: yang satu berada di Surga sedangkan yang lain terpenjara dalam tubuh manusia sendiri. Karena itulah, mengapa jiwa ini tidak bisa bahagia tinggal di dunia, sebab ia selalu mencari dan mencari belahan jiwanya yang lain sehingga bisa sempurna dan utuh kembali seperti semula.[8]                  

B. Riwayat Hidup Sang Maestro

Suhrawardi, lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardi al-Maqtul lahir di kota kecil Suhraward di Persia pada 549 H/1154 M. Pendidikannya dimulai di Maraghah, dengan belajar fiqh dan teologi pada Majd al-Din al-Jilli. Kemudian Suhrawardi mengembara ke Isfahan untuk mendalami studinya pada Zahir al-Din Qari dan Fakhr al-Din al-Mardini, dimana orang yang disebut terakhir ini disinyalir sebagai guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu, ia juga belajar logika pada Zahiq al-Farsi yang mengajarkan al-Bashair al-Nashriyyah, kitab karya Umar ibn Sahlan al-Sawi, ahli logika terkenal sekaligus pemikir illuminasionis awal dalam Islam.[9]
Kemudian Suhrawardi melanjutnya pengembaraannya ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Akhirnya ia pergi ke Aleppo untuk berguru kepada Syafir Iftikar al-Din. Disinilah ia kenal baik dan mengabdi pada pangeran Malik al-Zahir Syah, gubernur Aleppo yang juga putera mahkota Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, sosok pahlawan perang salib (the hero of the Crusades). Suhrawardi berhasil mengambil hati sang pangeran dengan penyampaian filsafat barunya. Tak pelak lagi, nama Suhrawardi yang semakin meroket di Istana menimbulkan kecemburuan, khususnya dilakangan petinggi kerajaan (baca: fuqaha dan teolog). Gesekan-gesekan kecil dan perang dingin antara Suhrawardi dan para fuqaha plus teolog pun mulai mencuat kepermukaan.
Untuk menfasilitasi persinggungan ini, Malik al-Zhahir mendudukkan Suhrawardi dengan para fuqaha dan teolog tersebut dalam rangka memperdebatkan pemikiran-pemikiran Suhrawardi. Dalam perdebatan tersebut Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi elegannya, yang justeru semakin memperat hubungannya dengan sang pangeran. Kontan saja, kondisi ini semakin membuat geram lawan-lawannya (walaupun Suhrawardi tidak menganggap mereka lawan). Dan mereka kemudian menuduh dan melontarkan isu-isu miring bahwa Suhrawardi termasuk golongan “zindig” (anti agama), merusak agama, dan menyesatkan pangeran muda. Namun begitu, validitas tuduhan dan isu ini masih sangat kontroversial.[10] 
Alhasil, mereka mengirim surat kepada Sultan bahwa ajaran-ajaran dan pemikiran Suhrawardi sangat berbahaya, dan (alasan terpenting) bisa menyesatkan akidah pangeran muda, Malik al-Zhahir. Sultan sendiri yang terprovokasi dengan propaganda para fuqaha dan teolog segera memerintahkan putranya untuk menghukum mati filosof muda itu. Maka berakhirlah transformasi pemikiran gemilang Suhrawardi, karena ia harus mengakhiri hidupnya ditiang ganungan dalam usia yang masih belia, 38 tahun.[11] Sangat mengenaskan!
Suhrawardi memang telah tiada. Namun gagasan-gagasan briliannya telah dan terus menjadi ornamen filsafat dunia. Dalam hal ini Sayyed Hossein Nasr menyatakan:

Although he was put to death at young age in Aleppo on the charge of heresy (in reality he died because of entanglement in the religio-political struggles), before his death he founded a new school of philosophy called al-isyraq or “illumination”. Based not only on ratiocination, but also an illumination or intellectual vison, this school sought to integrate the wisdom of ancient Persia and Greece into Islamic gnosis (ma’rifah) on the basis of erlier philosophy of Ibn Sina, which Suhrawardi considered to be necessary for the training of the mind but not sufficient, since authentic philosophy also requires the purification of the mind and the heart, a prerequisite for reception of illumination.[12]
Meskipun ia meninggal dalam usia belia akibat tuduhan melakukan bid’ah (realitasnya ia meninggal akibat konspirasi agama dan politik), sebelum kematiannya Suhrawardi menemukan sekolah filsafat baru yang disebut al-isyraq atau “illuminasi”. Karena tidak hanya didasarkan pada kekuatan rasio, namun juga kemampuan illuminasi atau “visi intelektual”, sebenarnya  filsafat ini mencoba untuk mengintegrasikan kebijaksanaan (wisdom) Persia dan Yunani kuno kedalam gnosis Islam dengan berpijak pada konsep filsafat Ibnu Sina yang muncul sebelumnya. Suhrawardi melihat adanya upaya untuk melatih jiwa (mind) namun, sayangnya, tidak berhasil. Sebab filsafat yang otentik, bagi Suhrawardi, juga membutuhkan penyucian jiwa dan hati, sebagai prasyarat untuk mencapai illuminasi”.  
Mengenai kematian “tragis” yang harus Suhrawardi alami, dalam hemat saya, justeru semakin melambungkan namanya diantara para filosof-filsof besar muslim yang lain. Dalam bahasa yang mungkin agak kaku, bisa jadi pemikiran Suhrawardi tidak akan membumi seperti sekarang ini bila ia tidak meninggal dengan cara diatas. Sebab, orang yang sama sekali tidak mendengar nama Suhrawardi kemudian menjadi bertanya-tanya: kenapa Suhrawardi harus dihukum mati? Seperti apa sih pemikirannya? Bagaimana pemikiran Suhrawardi ko’ bisa “divonis” sesat? Dari sini masyarakat dunia terus penasaran dan ingin mempelajari pemikiran tokoh yang kemudian dikenal dengan Syaikh al-Isyraq ini. Fenomena demikian sebenarnya sudah dialami pemikir-pemikir yang lain. Sebut saja Socrates, A-Hallaj atau (di Indonesia) Syeikh Siti Jenar yang meninggal dengan cara yang hampir sama. Dan, seperti halnya Suhrawardi, nama mereka pun semakin populer saja.

  

C. Karya-karya Suhrawardi

Suhrawardi adalah filosof yang sangat produktif. Kendati usianya sangat pendek, namun kata Sayyed Hossein Nasr,[13] ada pulahan buku yang telah ditulis Suhrawardi dalam bahasa Arab dan Persia, yang meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan metode berbeda-beda. Menurut Mehdi Aminrazavi penyebutan risalah-risalah ini untuk mempersaksikan perjalanan jiwa menuju kesatuan dan kerinduan inhern manusia terhadap gnosis (ma’rifah). Sebab, tanpa bantuan karya-karya ini, ajaran isyraqi tidak akan bisa sepenuhnya dipahami.[14]
Selanjutnya, Hossein Nasr mengklasifikasikan karya Suhrawardi menjadi lima kategori:[15]
o   Empat risalah besar mengenai filsafat:[16]
-          al-Talwihat (Kitab Keintiman)
-          al-Muqawamat (Kitab Perlawanan)
-          al-Masy’ari wa al-Mutharahat (Kitab Percakapan)
-          Hikmah al-Isyraq (Filsafat Illuminasi).
o   Karya-karya pendek,[17] yang sebagian besar bersifat doktrinal, tetapi hendaknya dipandang sebagai penjelasan lanjutan mengenai risalah-risalah doktrinal yang lebih besar, antara lain:
-          Hayakil al-Nur (Tubuh yang Bersinar)
-          Alwah al-‘Imadiyah (Lembaran ‘Imaduddin)
-          Partaw-nama (Risalah tentang Wahyu)
-          Fi I’tiqad al-Hukama’ (Tentang Keimanan Para Ahli)
-          Al-Lamahat (Kilatan Cahaya)
-          Yazdan-Syinakht (Pengetahuan Ilahi)
-          Bustan al-Qulub (Taman Hati)
o   Risalah-risalah yang murni esoteris
-          ‘Aql-i Surkh (Akal Merah)
-          Awaz-i-par-i-Jibra’il (Pesona Sayap Jibril)
-          Al-Qissah al-Gurbah al-Garbiyyah (Certita tentang Orang Buangan Barat)
-          Lugat-i Muran (Bahasa Rayap)
-          Risalah fi Halah al-Tufuliyyah (Risalah Keadaan Masa Kanak-Kanak)
-          Ruzi ba Jama’ah-i Suffiyan (Sehari Bersama Masyarakat Sufi)
-          Safir-i Simurg (Lagu Binatang Buas)
-          Risalah fi al-Mi’raj (Risalah Perjalanan Malam)
o   Risalah yang bersifat filosofis dan inisiatis
-          Terjemahan Risalah al-Tayr (Risalah Burung) karya Ibn Sina dan komentar terhadap karyanya dalam bahasa Persia al-Isyarat wa at-Tanbihat
-          Risalah fi Haqiqah al-‘Isyq (Risalah tentang Realitas Cinta) yang didasarkan pada karya Ibn Sina Risalah fi-’Isyq (Risalah Cinta)
o   Tulisan-tulisan yang berisi shalat dan doa-doa, oleh Syahrazuri disebut al-Waridat wa al-Taqdisat (Permohonan dan doa)       

D. Makna Hikmah al-Isyraq

         Kata Isyraqi merupakan kata yang multi arti. Ia dinamakan dengan ilmu huduri (knowedge by presence), yakni pencapaian pengetahuan tentang suatu obyek yang tanpa digambarkan didalam akal. Ia mempunyai obyek imanen yang menyebabkannya menjadi pengetahuan tanpa membutuhkan obyek transitif. Ia hadir dengan sendirinya melalui bimbingan intuitif Cahaya Ketuhanan. pencahayaan, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi.
        Ada juga yang mengartikan bahwa Isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal-hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat orang menderita.
         Isyraq[18] sendiri dalam bahasa Arab berarti “pencahayaan”, dan masyriq berarti “timur”. Kesatuan antara “cahaya” dan “timur” dalam Hikmah al-Isyraq (the theosophy of the orient of light, dalam istilah S.H. Nasr) berkaitan dengan simbolisasi matahari yang terbit dari timur dan mencahayai segala sesuatu.[19] Dengan realitas mencahayai atau meneragi segala sesuatu, cahaya diidentifikasi dengan gnosis dan illuminasi. Dengan demikian, isyraqiyah adalah pengetahuan melalui pertolongan dimana manusia dapat menyesuaikan drinya di dunia wujud semsta tidak masalah dimanapun ia hidup secara geografis, dan akhirnya menyadari bahwa timur adalah tempat kediaman azali. Sementara bayangan kegelapan dan kesuraman hidup manusia ada di barat.    
        Sementara dalam pandangan Hossein Ziai, filsafat illuminasi adalah konstruksi sistematis dan filosofis khas yang dirancang untuk menghindari inkonsistensi-inkonsistensi logis, epistimologis dan metafisis yang dirasakan oleh Suhrawardi dalam madzhab Perepatetik[20] pada waktu itu.[21] Tujuannya, masih menurut Ziai, untuk merumuskan jalan yang jelas menuju suatu kehidupan filosofis sekaligus merupakan sarana yang secara “ilmiah” lebih valid untuk meneliti sifat dan hakikat sesuatu serta wahana untuk mencapai kebahagiaan dan juga jalan untuk meraih kebijaksanaan yang lebih praktis yang dapat dan harus digunakan untuk mengabdi pada kekuasaan yang adil.[22]     
 

 E. Dibalik lahirnya Hikmah al-Isyraq

Memahami latar belakang munculnya Hikmah al-Isyraq juga merupakan sesuatu yang penting dalam rangka menghampiri konsep yang dibangun dalam filsafat ini. Apalagi Hikmah al-Isyraq disebut-sebut sebagai kulminasi pemikiran fislafat Suhrawardi. Konon, lahirnya Hikmah al-Isyraq disinyalir sebagai respon Suhrawardi atas permintaan terus-menerus dari sahabat-sahabatnya. Bagi Hossein Ziai, ada pernyataan yang tidak biasa dibuat oleh Suhrawardi diawal pendahuluan Hikmah al-Isyraq, dan pernyataan itu tidak pernah diulangi Suhrawardi dalam karya-karya yang lain. Setidak-tidaknya pernyataan diatas, kata Ziai, bisa ditafsirkan dengan dua perspektif, yang tentunya memiliki implikasi berbeda.[23] Suhrawardi menyatakan:
“Jika bukan karena keharusan untuk memenuhi suatu kewajiban, suatu pesan yang telah muncul, dan suatu kewajiban yang telah diberikan dari suatu ketidaktaatan yang akan mengantarkan kepada jalan yang sesat, saya tidak pernah merasa wajib untuk melangkah lebih jauh dan secara terbuka menyingkap filsafat illuminasi”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar