Pada zaman
ini kesadaran manusia akan keberadaannya yang beragam, membuatnya
melakukan pengakuan terhadap sesamanya. Keberagaman ini dapat dilihat
dari sekian banyak budaya, ras, adat istiadat, bahasa dan agama.
Pengakuan akan kepluralitasan dilakukan dengan cara terbuka pada
keberagaman yang ada, tanpa meninggalkan apa yang diyakini dan dimiliki.
Namun usaha ini tidak selalu berjalan dengan baik. Manusia belum bisa
menyesuaikan diri dengan perbedaan yang dihadapi. Ia belum dapat keluar
dari dirinya sendiri. Perbedaan yang dapat dilihat sebagai suatu
kekayaan malah menjadi sumber kekacauan. Inilah yang terjadi di berbagai
tempat, khususnya Indonesia yang mana memiliki keberagaman di segala
bidang.
Melihat
masalah di atas, muncul kecenderungan pengkotak-kotakan. Tentunya, ini
berakibat pada cara manusia bersosialisasi. Sering kali hidup bernuansa
individualistis. Banyak nilai keutamaan yang lenyap tersapu keegoisan
individu-individu yang haus akan pengakuan diri yang berlebihan.
Persaingan di segala bidang pun terjadi. Dalam masyarakat terjadilah apa
yang dinamakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Hukum rimba pun berlaku.
Dalam
paper ini, penulis akan menyajikan falsafah hidup orang Jawa dimana
penulis hidup dan kini berada. Falsafah ini mau mengatakan tentang suatu
nasihat antisipasi terhadap setiap pribadi yang terlalu menekankan segi
individualistis. Pembahasan ini
akan dikaitkan dengan cara para misionaris menanamkan benih iman kepada
masyarakat di Gereja lokal, bahkan partikular. Dengan demikian fokus utama pembahasan ini adalah bagaimana para misionaris dapat bersosialisasi secara baik dengan masyarakat dalam pewartaan iman, tanpa meninggalkan apa yang diyakini dan dimiliki.
Pengertian Falsafah Jawa
Adigang adigung adiguna adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mempunyai sifat angkuh dan sombong. Keangkuhan dan kesombongannya sangat luar biasa, bahkan di luar batas kewajaran. Falsafah hidup ini berasal dari masyarakat Jawa. Adigang
merupakan sifat seseorang yang suka menyombongkan kekuatan, kekuasaan,
jabatan, pangkat kewenangan, atau otoritas. Sikap ini diwujudnyatakan
dalam tindakan yang otoriter, sewenang-wenang, bahkan suka main hakim
sendiri, tanpa melihat nilai moral yang terkandung di dalamnya. Manusia
yang memiliki sifat ini selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai
pribadi yang berkekuatan tunggal dan yang tak tersaingi. Dia menganggap
keberadaannya sebagai pribadi yang paling berkuasa. Tentu sifat ini
membawa konsekuensi yang tidak selalu baik. Sebab, jika ada orang yang
menampilkan diri sebagai pesaing, maka ia dianggap sebagai musuh yang
harus disingkirkan.
Adigung
adalah suatu sifat manusiawi yang terlalu menekankan aspek kekayaan,
harta, martabat, atau harga diri. Manusia yang memiliki sifat ini selalu
mengukur segala-galanya berdasarkan uang atau materi. Dari sini dapat
dilihat bahwa ia menjadi pribadi yang sangat materialistis. Dengan uang
ia yakin bahwa segala sesuatu bisa dilakukan. Keyakinan ini membawa
akibat pada diri sendiri dan orang lain. Ia menjadi ketergantungan pada
materi dan tak dapat berbuat apa-apa tanpanya. Sedang bagi orang lain,
ia akan memandang mereka kecil dan tak berarti.
Adiguna
adalah sifat seseorang yang terlalu mengagung-agungkan bakat dan
kepandaian yang dimiliki. Ia yang memiliki sifat manusiawi ini
menganggap diri sebagai pribadi yang paling pandai dan berbakat.
Tentunya, sikap ini membawa orang jatuh pada kesombongan yang haus akan
penghargaan diri. Akibatnya, orang lain dianggapnya bodoh dan tak
berkemampuan.
Pembalikan Arti Falsafah
Melihat
pengertian dari falsafah di atas, manusia zaman kini dituntut supaya
dapat menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tidak terpuji itu. Ini
bertujuan agar ia tidak terjebak pada konsep yang menyalahi kodratnya
sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
pembalikan atas falsafah hidup itu, yaitu “aja adigang adigung adiguna“.
Istilah ini mau mengungkapkan kedalaman hidup manusia. Titik kedalaman
ini akan mencuat ketika manusia dapat meninggalkan keakuan diri dan
menggali kedangkalan-kedangkalan wawasan berpikirnya. Ia mulai terbuka
pada dunia di luar dirinya sendiri. Dengan demikian ia tidak lagi
mengagung-agungkan apa yang diyakini dan yang dimiliki. Kini dapat
dilihat nuansa keberadaban manusia yang semula biadab.
Pembalikan
arti falsafah ini dapat dikaitkan dengan cara para misionaris
mewartakan iman kepada Gereja lokal, bahkan partikular. Jika
membandingkan latar belakang budaya mereka dengan daerah misi, dapat
diketahui bahwa ada tingkatan yang begitu jauh. Budaya para misionaris
begitu berkembang sedangkan tempat misi yang dituju tidak selalu setara,
bahkan mungkin berbanding terbalik. Selain itu, iman yang menjadi inti
pewartaan juga telah tercampur dengan budaya tersebut sebagai wujud
pengungkapannya. Dengan demikian secara tidak langsung, pewartaan iman
yang dilakukan mengandaikan orang yang mendapat pewartaan itu berbudaya
yang sama dengan pewarta. Kesadaran akan hal ini membuat mereka
menjadikan subyek pewartaan sebagai londo ireng.
Kecenderungan ini membawa konsekuensi, yaitu pewarta menganggap diri
sebagai superior dibanding subyek pewartaan. Subyek pewartaan dicekoki
dengan budaya yang terasa asing.
Dalam Handout Teologi Inkulturasi, Arnold Toynbee mengatakan bahwa budaya barat tidak harus menjadi budaya dunia.
Hal ini mau mengatakan bahwa para pewarta tidak perlu menonjolkan
budayanya, bahkan mengagung-agungkannya sebagai cara bagaimana
mengungkapkan iman itu. Kecenderungan ini harus dilepas. Ini disadari
karena adanya realitas yang begitu kompleks dalam segi sosio-budaya.
Keuniversalitasan Gereja tidak lagi dipandang sebagai suatu uniformitas
melainkan suatu unitas.Kesadaran ini merupakan inti dari pembalikan arti falsafah Jawa. Manusia tidak lagi
menonjolkan apa yang dimiliki dan diyakini, melainkan terbuka dan
menerima keunikan tiap budaya yang ada. Hal yang mau ditekankan adalah
bukan keseragaman melainkan kesatuan yang terkandung di dalamnya. Dari
sini terungkap konsep skema budaya mikro menuju makro.
Linearitas Sikap Yesus dan Pembalikan Arti Falsafah
Yesus
merupakan pribadi yang mencerminkan pembalikan arti falsafah Jawa. Hal
ini dapat dilihat dari sikap hidupNya. Meski Putera Allah, Ia tidak
jatuh pada kesombongan akan kekuatan, kekuasaan dan jabatan. Hal ini
terlihat dari peristiwa kelahiranNya. Ia yang adalah raja, lahir
dikandang yang hina. Inilah bukti bahwa Yesus merupakan pribadi yang
menerapkan istilah aja adigang dalam hidupNya. Ia juga tidak bersifat adigung
yang menekankan harta kekayaan, harga diri, dan martabat. Ini terlihat
ketika Ia dicobai oleh iblis saat berpuasa. Iblis berusaha menawarkan
kemewahan duniawi. Tapi Ia menolak (Mat 4:1-11). Dengan
sikap ini, Yesus mau mengatakan bahwa harta duniawi bukanlah
segala-galanya, ada hal yang lebih dari itu. Selain itu, Yesus tidak
menonjolkan diri sebagai wujud nyata dari janji Allah kepada manusia. Ia
rela mati dengan cara yang hina. Ia tidak memperdulikan harga diriNya
sebagai perwujudan janji Allah. Dari sini dapat diketahui bahwa dengan
sendirinya, Ia pun bukan merupakan pribadi yang adiguna. Pribadi
yang terlalu menekankan kepandaian dan bakat. Peristiwa sengsara dan
kematian dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui kerendahan hati dan
kepasrahanNya pada kehendak Bapa.
Shorter, dalam Handout Teologi Inkulturasi, menunjuk beberapa aspek dalam hidup keseharian Yesus. Ia mengajarkan semangat kasih yang berlawanan dengan legalisme dan formalisme ‘ghetto’ yang tak tergoyahkan.Dengan
semangat kasih ini Yesus dapat merangkul semua orang tanpa melihat
perbedaan. Ia tidak melakukan pengkotak-kotakan. Dengan kata lain, Yesus
terbuka pada keunikan pribadi dan budaya lain. Sikap inilah yang
diidealkan dalam suasana hidup pluralis. Manusia dituntut untuk menjadi
pribadi yang beradab dengan meninggalkan sikap kebiadaban dalam
mengahadapi keberagaman.
Daftar Pustaka
Hardjosoetiko, Fransiskus, Fr., BHK., Handout: Teologi Inkulturasi, Malang: STFT Widya Sasana, 2011
Tartono, St.S., Pitutur Adi Luhur: Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa, Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusatama, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar