Jumat, 25 September 2015

ADIGANG ADIGUNG ADIGUNA { FALSAFAH JAWA}.



Pada zaman ini kesadaran manusia akan keberadaannya yang beragam, membuatnya melakukan pengakuan terhadap sesamanya. Keberagaman ini dapat dilihat dari sekian banyak budaya, ras, adat istiadat, bahasa dan agama. Pengakuan akan kepluralitasan dilakukan dengan cara terbuka pada keberagaman yang ada, tanpa meninggalkan apa yang diyakini dan dimiliki. Namun usaha ini tidak selalu berjalan dengan baik. Manusia belum bisa menyesuaikan diri dengan perbedaan yang dihadapi. Ia belum dapat keluar dari dirinya sendiri. Perbedaan yang dapat dilihat sebagai suatu kekayaan malah menjadi sumber kekacauan. Inilah yang terjadi di berbagai tempat, khususnya Indonesia yang mana memiliki keberagaman di segala bidang.
Melihat masalah di atas, muncul kecenderungan pengkotak-kotakan. Tentunya, ini berakibat pada cara manusia bersosialisasi. Sering kali hidup bernuansa individualistis. Banyak nilai keutamaan yang lenyap tersapu keegoisan individu-individu yang haus akan pengakuan diri yang berlebihan. Persaingan di segala bidang pun terjadi. Dalam masyarakat terjadilah apa yang dinamakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Hukum rimba pun berlaku.
Dalam paper ini, penulis akan menyajikan falsafah hidup orang Jawa dimana penulis hidup dan kini berada. Falsafah ini mau mengatakan tentang suatu nasihat antisipasi terhadap setiap pribadi yang terlalu menekankan segi individualistis. Pembahasan ini akan dikaitkan dengan cara para misionaris menanamkan benih iman kepada masyarakat di Gereja lokal, bahkan partikular. Dengan demikian fokus utama pembahasan ini adalah bagaimana para misionaris dapat bersosialisasi secara baik dengan masyarakat dalam pewartaan iman, tanpa meninggalkan apa yang diyakini dan dimiliki.
Pengertian Falsafah Jawa
Adigang adigung adiguna adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mempunyai sifat angkuh dan sombong. Keangkuhan dan kesombongannya sangat luar biasa, bahkan di luar batas kewajaran. Falsafah hidup ini berasal dari masyarakat Jawa. Adigang merupakan sifat seseorang yang suka menyombongkan kekuatan, kekuasaan, jabatan, pangkat kewenangan, atau otoritas. Sikap ini diwujudnyatakan dalam tindakan yang otoriter, sewenang-wenang, bahkan suka main hakim sendiri, tanpa melihat nilai moral yang terkandung di dalamnya. Manusia yang memiliki sifat ini selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai pribadi yang berkekuatan tunggal dan yang tak tersaingi. Dia menganggap keberadaannya sebagai pribadi yang paling berkuasa. Tentu sifat ini membawa konsekuensi yang tidak selalu baik. Sebab, jika ada orang yang menampilkan diri sebagai pesaing, maka ia dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Adigung adalah suatu sifat manusiawi yang terlalu menekankan aspek kekayaan, harta, martabat, atau harga diri. Manusia yang memiliki sifat ini selalu mengukur segala-galanya berdasarkan uang atau materi. Dari sini dapat dilihat bahwa ia menjadi pribadi yang sangat materialistis. Dengan uang ia yakin bahwa segala sesuatu bisa dilakukan. Keyakinan ini membawa akibat pada diri sendiri dan orang lain. Ia menjadi ketergantungan pada materi dan tak dapat berbuat apa-apa tanpanya. Sedang bagi orang lain, ia akan memandang mereka kecil dan tak berarti.
Adiguna adalah sifat seseorang yang terlalu mengagung-agungkan bakat dan kepandaian yang dimiliki. Ia yang memiliki sifat manusiawi ini menganggap diri sebagai pribadi yang paling pandai dan berbakat. Tentunya, sikap ini membawa orang jatuh pada kesombongan yang haus akan penghargaan diri. Akibatnya, orang lain dianggapnya bodoh dan tak berkemampuan.
Pembalikan Arti Falsafah
Melihat pengertian dari falsafah di atas, manusia zaman kini dituntut supaya dapat menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tidak terpuji itu. Ini bertujuan agar ia tidak terjebak pada konsep yang menyalahi kodratnya sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembalikan atas falsafah hidup itu, yaitu “aja adigang adigung adiguna“. Istilah ini mau mengungkapkan kedalaman hidup manusia. Titik kedalaman ini akan mencuat ketika manusia dapat meninggalkan keakuan diri dan menggali kedangkalan-kedangkalan wawasan berpikirnya. Ia mulai terbuka pada dunia di luar dirinya sendiri. Dengan demikian ia tidak lagi mengagung-agungkan apa yang diyakini dan yang dimiliki. Kini dapat dilihat nuansa keberadaban manusia yang semula biadab.
Pembalikan arti falsafah ini dapat dikaitkan dengan cara para misionaris mewartakan iman kepada Gereja lokal, bahkan partikular. Jika membandingkan latar belakang budaya mereka dengan daerah misi, dapat diketahui bahwa ada tingkatan yang begitu jauh. Budaya para misionaris begitu berkembang sedangkan tempat misi yang dituju tidak selalu setara, bahkan mungkin berbanding terbalik. Selain itu, iman yang menjadi inti pewartaan juga telah tercampur dengan budaya tersebut sebagai wujud pengungkapannya. Dengan demikian secara tidak langsung, pewartaan iman yang dilakukan mengandaikan orang yang mendapat pewartaan itu berbudaya yang sama dengan pewarta. Kesadaran akan hal ini membuat mereka menjadikan subyek pewartaan sebagai londo ireng. Kecenderungan ini membawa konsekuensi, yaitu pewarta menganggap diri sebagai superior dibanding subyek pewartaan. Subyek pewartaan dicekoki dengan budaya yang terasa asing.
Dalam Handout Teologi Inkulturasi, Arnold Toynbee mengatakan bahwa budaya barat tidak harus menjadi budaya dunia. Hal ini mau mengatakan bahwa para pewarta tidak perlu menonjolkan budayanya, bahkan mengagung-agungkannya sebagai cara bagaimana mengungkapkan iman itu. Kecenderungan ini harus dilepas. Ini disadari karena adanya realitas yang begitu kompleks dalam segi sosio-budaya. Keuniversalitasan Gereja tidak lagi dipandang sebagai suatu uniformitas melainkan suatu unitas.Kesadaran ini merupakan inti dari pembalikan arti falsafah Jawa. Manusia tidak lagi menonjolkan apa yang dimiliki dan diyakini, melainkan terbuka dan menerima keunikan tiap budaya yang ada. Hal yang mau ditekankan adalah bukan keseragaman melainkan kesatuan yang terkandung di dalamnya. Dari sini terungkap konsep skema budaya mikro menuju makro.

Linearitas Sikap Yesus dan Pembalikan Arti Falsafah
            Yesus merupakan pribadi yang mencerminkan pembalikan arti falsafah Jawa. Hal ini dapat dilihat dari sikap hidupNya. Meski Putera Allah, Ia tidak jatuh pada kesombongan akan kekuatan, kekuasaan dan jabatan. Hal ini terlihat dari peristiwa kelahiranNya. Ia yang adalah raja, lahir dikandang yang hina. Inilah bukti bahwa Yesus merupakan pribadi yang menerapkan istilah aja adigang dalam hidupNya. Ia juga tidak bersifat adigung yang menekankan harta kekayaan, harga diri, dan martabat. Ini terlihat ketika Ia dicobai oleh iblis saat berpuasa. Iblis berusaha menawarkan kemewahan duniawi. Tapi Ia  menolak (Mat 4:1-11). Dengan sikap ini, Yesus mau mengatakan bahwa harta duniawi bukanlah segala-galanya, ada hal yang lebih dari itu. Selain itu, Yesus tidak menonjolkan diri sebagai wujud nyata dari janji Allah kepada manusia. Ia rela mati dengan cara yang hina. Ia tidak memperdulikan harga diriNya sebagai perwujudan janji Allah. Dari sini dapat diketahui bahwa dengan sendirinya, Ia pun bukan merupakan pribadi yang adiguna. Pribadi yang terlalu menekankan kepandaian dan bakat. Peristiwa sengsara dan kematian dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui kerendahan hati dan kepasrahanNya pada kehendak Bapa.
            Shorter, dalam Handout Teologi Inkulturasi, menunjuk beberapa aspek dalam hidup keseharian Yesus. Ia mengajarkan semangat kasih yang berlawanan dengan legalisme dan formalisme ‘ghetto’ yang tak tergoyahkan.Dengan semangat kasih ini Yesus dapat merangkul semua orang tanpa melihat perbedaan. Ia tidak melakukan pengkotak-kotakan. Dengan kata lain, Yesus terbuka pada keunikan pribadi dan budaya lain. Sikap inilah yang diidealkan dalam suasana hidup pluralis. Manusia dituntut untuk menjadi pribadi yang beradab dengan meninggalkan sikap kebiadaban dalam mengahadapi keberagaman.
                       
Daftar Pustaka
Hardjosoetiko, Fransiskus, Fr., BHK., Handout: Teologi Inkulturasi, Malang: STFT Widya Sasana, 2011
Tartono, St.S., Pitutur Adi Luhur: Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa, Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusatama, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar