Museum Ronggowarsito, Jl. Abdulrahman Saleh no.1 Semarang 50149 |
Dari karya-karya Ronggowarsito, akan kelihatan bahwa
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan
kepustakaan Jawa. Pembahasan dan
pemikiran Ronggowarsito, terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok
pemikiran yang terdapat dalam perbendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam
kejawen. Sehingga karya-karya Ronggowarsito pada umumnya mencerminkan perpaduan
antara alam pikiran Jawa dengan ajaran Agama Islam. Karena kehidupan Ronggowarsito
dan pujangga-pujangga Jawa pada umumnya berada dalam kedua lingkungan
kebudayaan tersebut, sesudah zaman kerajaan Jawa-Islam. Walaupun pada hari-hari
tuanya Ronggowarsito banyak bergaul dengan sarjana-sarjana Belanda yang
mempunyai perhatian terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa, seperti dengan C.F.
Winter, Cohen Stuart dan sebagainya. Tetapi, pergaulan ini tidak banyak memberi
bekas dalam pemikiran Ronggowarsito.
Ronggowarsito yang hidup semenjak tahun 1802 sampai
tahun 1873, dengan sendirinya mengalami berbagai macam pergolakan dan
perubahan-perubahan suasana politik dalam lingkungan istana. Setiap perubahan sikap politik dalam hubungan
dengan pemerintahan kolonial Belanda, langsung atau tidak langsung pasti
mempengaruhi kedudukan pejabat-pejabat istana.
Karena melihat korupsi yang terjadi di istana dan
masyarakat, serta berbagai tindakan amoral dan keadaan yang memprihatinkan di
masyarakatnya, Ronggowarsito yang berperan sebagai pujangga istana serta
penyambung lidah rakyat kemudian menuliskan keadaan zamannya tersebut dalam
bentuk karya sastra.
Menurut Ronggowarsito, ada tiga macam pembagian
zaman. Yakni zaman edan atau Kalatidha yaitu ditandai dengan adanya
pola pikir yang salah. Hal ini diungkapkan dalam Serat Kalatidha sebagai berikut:
Amenangi jaman
edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya
kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa Allah/begja-begjane kang
lali/luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya:
Mengalami
zaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila tidak tahan, kalau tidak
ikut (menggila), tidak (akan) mendapat bagian, akhirnya (mungkin) kelaparan,
(tetapi) takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa, (masih)
bahagia yang sadar dan waspada.
Kemudian akan diiukuti oleh Zaman Kalabendu yaitu moralitas semakin merosot disebabkan oleh
pola pikir yang salah. Hal ini terdapat dalam Serat Sabda Jati sebagai berikut:
Para janma jaman
pakewuh, kasudranira andadi,
daurune saya ndarung,
keh tyas mirong murang
margi,
kasetyan wus ora katon.
Orang-orang
dalam zaman pakewuh (edan),
kerendahan budinya makin menjadi-jadi, kekacauan bertambah, banyak orang
berhati sesat (buruk), melanggar peraturan yang benar, kesetiaan sudah tiada
terlihat.
Yen kang uning marang
sajatining kawruh,
kewuhan sajroning ati
yen tan niru ora arus,
uripe kaesi-esi,
yen nirua dadi asor.
Bagi
orang yang tahu akan kebenaran, dalam hati terasa ewuh (bingung), apabila tidak
turut berbuat sesat, hidupnya akan menjadi merana, kalau ikut menjadi rendah
budi pekertinya.
Nora ngandel marang
gaibing Hyang Agung,
anggelar sakalir-kalir,
kalamun temen tinemu,
kabegjane anekani,
kemurahaning Hyang
Manon.
Tindakan
seperti itu, berarti tak percaya akan kemurahan dan kekuasaan Tuhan, yang
menciptakan segala-galanya. Apabila memohon dengan bersungguh hati, pasti mendapat
anugerah dari kemurahan Tuhan.
Anuhoni kabeh kang duwe
panyuwun,
yen temen-temen
sayekti,
Allah aparing pitulung,
nora kurang sandhang
bukti,
saciptanira kalakon.
Tuhan
mengabulkan semua permohonan, apabila disertai kesungguhan, Allah pasti memberi
pertolongan, tidak akan kekurangan makan serta pakaian. Segala yang diingini akan
terlaksana.
Lalu kemudian akan muncul Zaman Kalasuba atau zaman keemasan. Datangnya masa keemasan sebagai
akhir kalabendu, terdapat dalam Serat Jakalodhang, sebagai berikut:
Sangkalane
maksih nunggal jamanipun,
neng
sajroning madya akir,
Wiku
sapta ngesthi ratu,
ngadil
pari marmeng dasih,
ing
kono karsaning Manon.
Ciri
waktu pada zaman itu, yakni pada pertengahan, dengan ciri tahun; wiku sapta
ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata, demikian
kehendak Tuhan.
Tinemune
wong ngantuk anemu kethuk,
malenuk
samargi-margi,
marmane
bungah kang nemu,
marga
jroning kethuk isi,
kancana
sosotya abyor.
Waktu
itu orang yang sedang mengantuk, sambil duduk saja mendapat kethuk (menemukan
benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan-jalan. Orang yang mendapat
riang-gembira, lantaran di dalamnya berisi emas permata yang bergemerlapan.
Itulah sekilas pemikiran Ronggowarsito mengenai zaman edan yang dituangkan dalam
beberapa karya sastranya. Di dalam karya tersebut terdapat banyak sekali ajaran
moral yang dapat diterapkan dalam konteks zaman sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar