Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam
Menurut Hukum Islam, perkawinan (nikah) adalah “Akad” (ijab, qabul) antara wali calon isteri dengan pria calon suami atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Perkawinan dalam bahasa Arab adalah nikah yang mempunyai arti yang luas, namun dalam Hukum Islam mempunyai arti tertentu. Nikah adalah suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan (Asaf A.A Fyzee, 1965 : 109).
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa, dikalangan kaum muslim nikah itu bukanlah suatu perbuatan suci, melainkan hanyalah suatu perjanjian sipil dan walaupun pada umumnya dilakukan upacara dengan pembacaan ayat-ayat Our’an, akan tetapi Hukum Islam tidak menetapkan dengan tegas suatu upacara agama yang khusus untuk perkawinan, tidak ada pejabat yang ditentukan untuk itu dan tidak ada formalitas yang menyulitkan (Asaf A.A Fyzee, 1965 : 109).
Oleh Sudarsono (1991 : 2) dikatakan, bahwa perkawinan menurut Hukum Islam ialah Akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolong antara seorang pria dan seorang wanita yang kedua-nya bukan muhrim.
Pengertian lain dikemukakan oleh Zahry Hamid (1976 : 1) bahwa, perkawinan
menurut Hukum Islam merupakan suatu ikatan bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dalam rumah tangga dan untuk
keturunan yang dilaksanakan menurut ketentuan Hukum Syari’at Islam.
Oleh
Mahmud Yunus (1964 : 1) dikatakan, bahwa perkawinan itu ialah aqad
nikah antara calon suami-isteri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut
ketentuan syari’at.
Perkawinan menurut Hukum Agama Kristen
pandangan Agama Protestan mengenai perkawinan, adalah merupakan suatu peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan
(J.L.Verkuyl, 1984 : 54). Pandangan tersebut didasarkan pada Kitab
Kejadian 2 : 18, 22-24, yang oleh umat Protestan ditafsirkan bahwa
perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita sejak semula
diciptakan Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Agama Protestan tidak memandang perkawinan yang diteguhkan di Gereja sebagai suatu Sakramen,
sebagaimana yang dikenal dalam Agama Katolik. Melainkan, nikah bagi
Agama Protestan tetaplah termasuk sebagai alam kehidupan yang
diciptakan. Kemuliaan Injil bagi pernikahan itu bukanlah berupa
pengangkatan pernikahan itu ke alam atas (sakramen), tetapi pada kasih
Kristus yang mengkhususkan kehidupan dan pergaulan hidup pernikahan
(J.L.Verkuyl, 1984 : 56).
Agama
Protestan mengajarkan, bahwa perkawinan adalah persekutuan hidup yang
meliputi keseluruhan hidup, yang menghendaki laki-laki dan perempuan
jadi satu, satu dalam mengasihi, satu dalam kepatuhan, satu dalam
menghayati kemanusiaan dan satu dalam memikul beban (Ichtijanto SA, 1989 : 139).
Perkawinan menurut Hukum Agama Katolik
Paham
dasar tentang perkawinan menurut Gereja Katolik telah dirumuskan dalam
Kitab Hukum Kanonik, sebagaimana terdapat dalam Kanon 1055 (ayat 1 dan
2) yang menyatakan, bahwa :
Perjanjian perkawinan dengan mana pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup,
dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta
pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perkawinan antara
orang yang dibabptis diangkat ke martabat Sakramen. Karena itu, antara
orang-orang yang dibaptis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak
dengan sendirinya merupakan Sakramen.
Dari pengertian di atas diketahui, bahwa menurut Hukum Agama Katolik, perkawinan
adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta
kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak
dapat ditarik kembali (Al.Budyapranata, 1992 : 14).
Di samping itu Agama Katolik mengajarkan, bahwa perkawinan itu merupakan suatu sakramen. Sakramen di sini, dimaksudkan sebagai tanda kehadiran Tuhan
(dari pihak Tuhan) untuk menghubungi manusia, agar manusia selalu
merasa dekat dengan Tuhan dan merasa dicintai oleh Tuhan
(Al.Budyapranata, 1992 : 24-25).
Jadi dapat dikatakan bahwa menurut Agama Katolik, perkawinan
adalah bukan hanya merupakan perikatan cinta antara kedua pihak (pria
dan wanita), melainkan juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh
kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan, oleh karena apa yang
dipersatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia (Matius, 19 : 6).
Di samping itu, perkawinan adalah perjanjian antara pria dan wanita untuk membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup,
dari sifat kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri serta
pada kelahiran dan pendidikan anak (Al Purwa Hadiwardoyo, 1991 : 125).
Perkawinan menurut Hukum Agama Hindu
Berdasarkan Kitab Manusmriti, perkawinan bersifat religius dan obllgatoir sifatnya
karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan
dan menebus dosa-dosa orang tuanya dengan menurunkan seorang putra yang
akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put (Gde Pudja, 1975 : 16-17).
Dari pengertian di atas, diketahui bahwa perkawinan menurut hukum Hindu yang
paling penting adalah untuk mendapatkan keturunan anak pria dengan
harapan dapat menyelamatkan arwah orang tua dari siksa api neraka. Sehingga apabila dalam suatu perkawinan tidak membuahkan keturunan anak laki-laki maka perkawinan tersebut dikatakan tidak berhasil.
Oleh karena tujuan Perkawinan menu-rut Agama Hindu adalah untuk
mencapai kebahagiaan dan di samping itu juga memperoleh keturunan
(laki-laki) yang disebut “Purusa” (Gde Pudja, 1976 : 32).
Perkawinan menurut Hukum Agama Budha
Berdasarkan Keputusan Sangha Agung Tanggal 1 Januari 1977, bahwa yang
dimaksud dengan perkawinan, adalah suatu ikatan lahir bathin antara
seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri yang
berdasarkan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkati oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa dan Mahasatwa, (Pasal 1).
Selanjutnya
menurut Agama Budha, seorang yang menikah (berumah tangga) memiliki
kebahagiaan dan menikmati kegembiraan setiap saat (Shravasti Dharmmika,
1992 : 12). Di kalangan umat Budha, perkawinan itu pada hakikatnya untuk selama-lamanya
baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang jika suami
isteri mempunyai cinta kasih, kebijaksanaan dan keyakinan yang sama,
sebagaimana dikemukakan oleh Sang Bhagava (Budha Gautama) dalam
ajarannya, bahwa Jika sepasang suami-isteri ingin tetap bersama, baik
dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang, dan keduanya
mempunyai keyakinan yang sama, kebajikan yang sama, kemurahan hati yang
sama dan kebijaksanaan yang sama, mereka akan tetap bersama dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang (Budha Vacana, Renungan Harian dari Kitab Suci Agama Budha, 1992 : 35).
KESIMPULAN !!!!!
dari semua yang sudah saya baca. saya menyimpulkan. bahwa pada dasarnya pernikahan bukan lah hal yang main2.
semuanya di laksanakan atas nama agama dan kepercayaan. dan juga atas
dasar rasa saling memiliki dan melengkapi. ingin hidup bersama
selamanya. saling mengisi dan berbagi dalam keadaan susah maupun senang.
baik atau buruknya keadaan yang terjadi pada sepasang kekasih.
mencapai
kebahagiaan terutama mendapatkan keturunan. jikalau Tuhan tidak
memberikan, itu merupakan ujian dari Tuhan yg harus dijalani bersama.
dan disinilah Tuhan melihat sejauh mana sepasang kekasih ini saling
setia dalam keadaan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar