Rabu, 07 Oktober 2015

R. GUNTUR MAHARDIKA: Alon alon waton kelakon



ALON ALON WATON KELAKON

ALON ALON WATON KELAKON


Iseng iseng membuka buka lembaran kebudayaan jawa. Wong jowo ilang
jawane, merupakan suatu sindiran atau kekawatiran yang patut kita
berikan atensi. Barangkali ada benarnya pendapat demikian itu. Salah
satu contoh menghilangnya kata bijak ALON ALON WATON KELAKON dalam
pergaulan bermasyarakat.





Ini merupakan kata bijak yang pernah saya dengar dari tetua orang
jawa. Saya tidak pernah tahu, dan juga tidak  pernah mencoba mencari
tahu dari mana asal mulanya saya mempunyai kata itu. Yang jelas tidak
asing bagi  kehidupan keseharaianku sewaktu  aku masih kecil, saat masa
masa sekolah. Tentu rekan rekan, pembaca yang budiman, juga pernah
mendengar kata Alon alon waton kelakon, dari keluarganya masing masing,
atau mungkin dari lingkungan masyarakat.





Dalam perjalanan menuju ke tingkat kedewasaan, kata kata itu ,
semakin lama semakin hilang dari pendengaran. Kalau boleh dikata,
sekarang sudah jarang kita temukan orang yang menggunakan kata itu.
Apalagi untuk menasehati anak, kerabat, saudara atau teman yang lainnya.





Yang menjadi pertanyaan, apakah kata bijak itu sudah tidak bijak
lagi. Apakah betul bahwa kata itu sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan
jaman, dan hanya cocok untuk jadoel. Atau justru sebaliknya, kitalah
sebenarnya yang tidak mampu menterjemahkan kata bijak itu. Kitalah yang
tidak paham menempatkan kata itu. Karena, setiap kata bijak tidak bisa
menempati semua sudut ruang kehidupan manusia, artinya selalu menunjuk
pada kasus tertentu.





Terus terang,  ALON ALON WATON KELAKON, adalah kata bijak_ warisan
nenek moyang kita, orang Jawa, yang paling banyak mendapat serangan.
Dengan  adanya perubahan jaman, karena kamajuan ilmu dan teknologi, yang
semakin cepat lajunya, kata itu banyak ditinggalkan. Penggunanya, lebih
sering dicemooh, sehingga kitapun juga enggan menggunakan. Logikanya,
kita akan dicemooh dan mendapat cap ketinggalan jaman.





Bagi orang modern, yang  menggunakan rasio atau penalaran dalam
mengkaji suatu permasalahan, melihat kata itu tidak logis. Yang cepat
belum tentu kelakon,  apalagi ALON ALON. Bagi mereka, alon alon waton
kelakon, betul betul tidak masuk akal. Wal hasil mereka tidak mau pakai
kata kata itu, sebagai kata bijak.





Bahkan dengan sinis mencap, alon alon waton kelakon,  sebagai
karakter orang jawa. Orang jawa identik dengan lamban. Omongan yang
halus tutur bahasanya, juga tidak lepas dari tuduhan sebagai manifestasi
karakteristik yang lamban. Hal ini menggejala dimana mana. Anehnya
tanpa ada pembelaan. Tulisan ini bukan juga merupakan pembelaan, tetapi
bisa dikatakan sebagai penafsiran awal, yang mencoba mencari pelurusan,
dan meletakan kata pada tempatnya.





Mengapa seseorang mempunyai penilaian bahwa alon alon waton kelakon
merupakan kata bijak yang tidak bijak? Mengapa orang menyimpulkan bahwa
alon alon waton kelakon tidak sesuai dengan logika? Orang seperti apakah
yang mempunyai kesimpulan semacam ini, mari kita lihat lebih jauh.


Kita ini orang Jawa, istilah dalam kosa kata internasional, kita ini
orang timur. Tetapi wajib  diakui bahwa sejak dari Taman kanak kanak
sampai Perguruan tinggi, pendidikan formal kita mendasarkan pada teori
dan keilmuan dari Barat. Dari kecil sampai dewasa secara sistematis dan
terencana otak kita diimput data tentang ilmu dan teknologi dari Dunia
Barat. Hasilnya dapat diketahui bahwa mindset kita persis seperti orang
barat.


Pendidikan ala Barat  sudah pasti sarat dengan rasio. Segala sesuatu
mendasarkan pada data, fakta, dan logika. Dalam istilah keren jaman
sekarang, yang dikelola adalah otak kiri. Karena otak kita disetting dan
dinput data yang berkaitan dengan rasio, maka segala sesuatu yang masuk
ke dalam indera kita akan kita analisa dengan ratio atau nalar.


Sekarang, ada sedikit titik terang. Bahwa orang orang yang mendapat
pendidikan formal, dan mindsetnya cenderung ke arah Barat, tentu akan
menilai bahwa alon alon waton kelakon tidak bisa diterima oleh nalar
mereka. Ketika kita menilai bahwa alon alon waton kelakon tidak sesuai
dengan jaman kita, dapat dipastikan bahwa kita menilai, meninjau, dan
mengkalkulasi kata itu dengan dasar logika – mindset Barat. Itulah yang
sebenarnya terjadi.





Kata ALON ALON WATON KELAKON adalah bahasa jawa dan diwariskan oleh
orang jawa. Kita pahami bahwa orang jawa itu lebih menekankan pada rasa
dan kata hati. Dengan demikian pemahanan dan penterjemahan kata ini juga
dengan kata hati atau rasa. Dalam istilah modern bahwa penekanam pada
rasa dan kata hati mengacu pada otak kanan.


Dengan demikian alon alon waton kelakon dapat diterjemahkan kehati
hatian dalam mencapai tujuan atau cita cita. Dalam kata bijak itu
tersirat  pula adanya suatu kesabaran dan ketekunan dalam meraih sebuah
cita cita. Kesabaran identik dengan keiklasan dan ketekunan lekat dengan
fokus. Kata bijak itu, secara tidak langsung terkandung petuah bahwa
dalam mencapai cita cita tidak perlu grusa grusu_tergesa gesa.


Alon alon waton kelakon tidak tepat kalau diterjemahkan lambat lambat
asal sampai. Ini suatu terjemahan yang tidak mengindahkan kultur kata
bijak itu. Bahkan dengan berani saya mengatakan bahwa alon alon waton
kelakon mempunyai makna yang mendalam. Kata ini tidak berada di kwadran
otak kiri, tetapi berada di kwadran otak kanan. Dan merupakan kunci
kesuksesan dalam menggapai suatu cita cita.


Ini adalah suatu petuah kebudayaan jawa, bahwa kepada siapapun dalam
mencapai cita cita, dalam menjalani proses menempuh cita cita selalulah
berkonsultasi dan berkoordinasi dengan kata hati atau rasa. Dan ketika
suatu proses atau tindakan sesuai dengan kata hati, dapat dipastikan
hasilnya sangat mengembirakan. Inilah sebenarnya pesan yang ingin
disampaikan oleh kata bijak alon alon waton kelakon.


Sebaliknya, ketika kita mengejar cita cita berkonsultasi dan
berkoordinasi dengan rasio hasilnya akan sangat berbeda. Nalar kita akan
memerintahkan kita untuk bekerja serba cepat, serba logis dan terkesan
terburu buru. Sesuatu yang tidak masuk akal, dianggap tidak mungkin.
Akhirnya mandeg dan terjebak pada tembok penghalang. Hasilnya bukanlah
sesuatu yang mendamaikan hati, tetapi merisaukan hati. Karena memang
hati dan pikiran berada pada kwadran yang berbeda. ( harto;
www.tiket24jam.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar