Senin, 12 Oktober 2015

BELAJAR DARI KISAH RASULULLAH SEBAGAI PENGEMBALA KAMBING



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ: نَعَمْ ,كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ. (أخرجه البخاري)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Salam bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan dirinya pasti pernah menggembala kambing”. Maka para sahabatnya bertanya: ‘Apakah engkau juga wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ya, Aku pernah mengembala kambing milik seorang penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath”. (HR. Bukhari)
Profesi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wa Salam sebagai penggembala kambing dalam masalah dunia mengingatkan kita akan sepak terjangnya dalam memimpin dan membina kaum Muslimin dan juga kepiawan Beliau dalam memenej umat dari hasil tempaan menggembala kambing.
Mungkin kiranya kita perlu belajar bagaimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wa Salam dalam memimpin umat Islam sebagaimana Beliau menggembala kambing.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Salam menggembalakan kambing penduduk Mekkah demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa muda sebelum beliau memulai usaha dagang dengan modal dari Khadijah dengan sistem bagi hasil pada usia 25 tahun.
Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal, pekerjaan Nabi Muhammad menggembalakan kambing sejak masa mudanya itu menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”
Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan sampai – selama tugasnya di pedalaman itu – ada domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin (dapat dipercaya).
Ada beberapa hal yang perlu dipetik dari profesi Rasulullah sebagai penggembala kambing, di antaranya:
1. SABAR
Dalam menggembala kambing diperlukan kesabaran begitu juga seorang pemimpin harus sabar dalam menggembala umat/ma’mumnya.
2. TAWADHU (Rendah Hati)
Sesungguhnya tabiat pengembala kambing adalah pelayan bagi kambing gembalaannya. Mengontrol, menjaga, memperhatikan anak-anak kambing gembalaannya. Begitu juga dalam menggembala umat.
3. KASIH SAYANG
Di antara tugas pengembala adalah menolong kambing-kambing gembalaannya, terkadang ada yang sakit, terluka, ada yang pincang, dan lain sebagainya. Jadi, kepada binatang saja kita harus belas kasihan. Selaku seorang Amir (pemimpin) yang mengurusi umat manusia, dipundaknya lah beban amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban terhadap keselamatan ma’mum (umat) baik dunia maupun akhirat.
4. KEBERANIAN
Dalam menjaga gembalannya, Sang pengembala biasanya sering berhadapan dengan binatang-binatang buas yang hendak menerkam gembalaannya. Begitu juga seorang Amir/Umaro bertanggung jawab terhadap umat dalam masalah akidah, muamalah, dan ubudiyah dari serangan-serangan/parasit-parasit paham yang menyimpang dan meresahkan umat.
5. TERHINDAR DARI TEKANAN ORANG LAIN
Allah menjadikan sebagian besar para Nabi sebagai pengembala dalam hal mata pencaharian dan juga sebagai pekerjaan yang mulia. Para Nabi belajar dari kemandirian dan menikmati hasil keringatnya sendiri. Tidaklah Allah menjadikan para Nabi bergelimpangan harta dan berkecukupan melainkan sedikit saja.
Adapun hikmah dibalik hadits di atas adalah tidak tertekan pada profesi orang lain sehingga bebas untuk mengatur dan memantau umat serta lebih leluasa menyuarakan kebenaran sehingga tidak merasa was-was. Manakala seseorang di bawah tekanan orang lain sehingga tidak sedikit al-haq (kebenaran) terpendam, khawatir jika bicara al-haq maka profesinya akan disingkirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar